Mohon tunggu...
Luthfi Wildani
Luthfi Wildani Mohon Tunggu... Pecinta Hikmah dan Kebenaran

I'm Just The Ordinary Man and Thirsty Knowledge

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Benarkah Anjing Najis?

21 Maret 2016   13:07 Diperbarui: 21 Maret 2016   13:44 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam mazhab Hanabilah, umumnya para ulama mempunyai pendapat yang inheren dan sama persis seratus persen dengan pendapat para ulama dari mazhab Syafi’iyah. Yaitu bahwasanya tubuh anjing dari ujung kepala sampai ujung kaki hukumnya najis mughallazhah.

  • Ibnu Qudamah (w. 620 H) dalam kitabnya al-Mughni menjelaskan sebagai berikut :

الْكَلْبُ، وَالْخِنْزِيرُ، وَمَا تَوَلَّدَ مِنْهُمَا، أَوْ مِنْ أَحَدِهِمَا، فَهَذَا نَجِسٌ، عَيْنُهُ، وَسُؤْرُهُ، وَجَمِيعُ مَا خَرَجَ مِنْهُ

“Anjing, babi dan apa yang lahir dari hasil perkawinan keduanya atau salah satu dari keduanya, maka                       hukumnya najis, baik ‘ainnya (dzatnya), bekas (jilatannya) dan semua yang keluar dari tubuhnya.” [7]

  • al-Mardawi (w. 885 H) dalam kitabnya al-Inshaf fi Ma’rifah al-Rajih min al-Khilaf menjelaskan sebagai berikut :

وَالصَّحِيحُ مِنْ الْمَذْهَبِ: أَنَّهُمَا وَالْمُتَوَلِّدُ مِنْهُمَا أَوْ مِنْ أَحَدِهِمَا وَجَمِيعِ أَجْزَائِهِمَا: نَجِس

“Yang shahih dalam mazhab bahwasanya keduanya (babi dan anjing) dan apa yang lahir dari hasil perkawinan         keduanya atau salah satu dari keduanya dan semua bagian tubuh keduanya adalah najis.” [8]

Kesimpulan

Dalam permasalahan hukum kenajisan anjing ini, dari sekian banyak ulama dari 4 mazhab, semuanya mengerucut kepada dua pendapat. Pendapat yang pertama yaitu dari mazhab al-Hanafiyah dan al-Malikiyah mengatakan bahwa tubuh anjing itu suci selama masih hidup. Sedangkan pendapat yang kedua yaitu dari mazhab al-Syafi’iyah dan al-Hanabilah mengatakan bahwa seluruh tubuh anjing dan apapun yang keluar darinya adalah najis.

Sudah menjadi sebuah kewajaran perbedaan pendapat di kalangan para ulama mazhab. Dan itu sah-sah saja. Kita yang statusnya hanya sebagai muqallid dan belum mempunyai alat yang memadai untuk berijtihad, tinggal memilih dan mengikuti saja pendapat para ulama mujtahid yang sudah susah payah meng-istimbath hukum langsung dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Wallahu a’lam

Referensi :

[1] al-Kasani, Badai’ al-Shanai’ fi Tartib al-Syarai’, jilid 1 hal. 63

[2] Ibnu Abdin, Radd al-Muhtar ala al-Dur al-Mukhtar, jilid 1 hal. 208

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun