Mohon tunggu...
Luthfi Kenoya
Luthfi Kenoya Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penikmat Senja dan Kopi

S2 Ilmu Politik Universitas Indonesia | "A little Learning is dangerous thing" | find me at Instagram, Line, Twitter, Facebook, Linkedln by ID: @Luthfikenoya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pemira UIN Jakarta E-Voting, Politik Identitas di Balik Kecanggihan

19 Maret 2019   22:51 Diperbarui: 19 Maret 2019   23:17 1400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
image: LPMinstitute

Ini cerita (ex) kampus saya yang sedang mengadakan pemilihan BEM/DEMA, anda boleh saja mengacuhkannya, merasa tidak penting untuk membaca atau berekspektasi tinggi tentang tulisan ini. Mari mulai dengan penerapan e-voting tanpa e-counting, selain karena minimnya kepercayaan (trust) dari mahasiswa, penyelenggara dalam hal ini kampus tidak berupaya mengatasi hal itu semisal dengan adanya live-streaming suara, pengawasan yang diperketat ataupun dengan teknologi canggih. 

Dan anda boleh saja mengatakan, apa pentingnya? Kampus mungkin punya niat baik agar tidak gaduh seperti sebelumnya atau pendapat lain yang lebih abai semisal "udahlah, gak ngaruh kok siapa yang menang. Belajar aja yang bener, kampus tuh bukan buat politik gak malu apa sama kampus lain yang udah ngembangin ini-itu, lah UIN masih aja berantem urusan pemira".

Kita juga bisa melupakannya, mengabaikan siapapun yang menang atau baru mengkritik ketika kalah tapi bersyukur kalau menang karena sudah diuntungkan sistem. Pandangan itu sah, wajar dan normal tetapi tentu saja sebuah wacana tidak muncul di ruang kosong ia terikat dengan kompleksitas struktur. 

Sebagaimana eksploitasi alam diperbolehkan sejauh menguntungkan perekonomian, cara pandangan itu bukan satu-satunya jawaban terkait relasi manusia dan alam, pandangan itu berdasarkan paradigma yang lebih besar atau holistik yakni developmentalisme. Sadar atau tidak sadar itu gak penting, yang penting justru apakah paradigma itu kita biarkan atau justru kita lawan? 

Oleh karenanya dalam hal ini sama juga, apa kiranya yang mendasari penerapan e-voting di UIN Jakarta? Dan kenapa pula mahasiswanya diam? Dua pertanyaan itu sungguh menarik untuk kita refleksikan baik secara akademik ataupun tidak.

Apa kiranya yang mendasari penerapan e-voting di UIN Jakarta?

Asumsi penyelenggara (kampus) penerapan ini akan meminimalisir kecurangan dan kegaduhan, faktanya? Oh no, justru kita mendapati hal sebaliknya. Dan anda boleh mengelek semisal "Tapi kan itu 1 atau 2? Kan gak banyak, HMI masih tetep menang kok di DEMA Univ meskipun rektornya bukan dari HMI". 

Yap, tapi masalahnya itu ukuran kuantitas dan logika transaksi, definisi keadilan macam itu tentu saja buruk bagi iklim demokrasi. Anda sama saja hendak bilang sedikit orang boleh dibunuh demi kepentingan umat atau korban hari ini Islam kemarin non-Islam ya impas dong? Haahaha jangan dulu sewot, saya duga anda akan menjawabnya begini "ya engga dong, itu urusan lain".

Nah, justru jawaban akhir itu yang lebih menarik bagi saya, jawaban yang justru membuktikan kegagalan dunia akademis. Lah kok bisa? Oh iya, metode saintifik menuntut sistematika berpikir dan objektifitas dalam pengambilan sumber (episteme) -- saya bahas di bagian selanjutnya. 

Pertama mari fokus pada dasar penerapan e-voting, alih-alih menunjukan kemajuan teknologi justru malah tanpa peralatan yang memadai, kok maksa sih? Konsep percepapatan atau modernisasi seringkali kontroversi baik skala makro maupun mikro. 

Dalam hal ini percepatan/perubahan seringkali bertolak dari minimalnya dua asumsi, pertama tuntutan zaman atau undang-undang atau kedua, ketidaksabaran untuk melenyapkan status quo.

Dalil pertama tentu saja bisa diterima ketika seluruh kompenen percepatan itu dipenuhi, kan namanya juga percepatan boleh dong gak semua dipenuhi? Semisal teknologinya berkala, gak langsung canggih semuanya? 

Oke, fine, tapi penghilangan satu atau dua komponen tak boleh serampangan, itungannya harus jelas sebagai contoh dananya berapa? SDMnya gimana? Terus klo masalah yang akan ditimbulkan lebih buruk atau lebih baik? 

Juga pertimbangan lain yang tidak kalah penting. Karena jika pertimbangan itu tidak muncul maka hasilnya justru menggambarkan dalil kedua yakni tidak sabar melenyapkan status quo atau dalam hal ini HMI seringkali memenangkan kontestasi di UIN bahkan meskipun calon HMI ada dua tapi mereka tetap menang.

Dalil kedua ini juga bisa di tolak, tapi bukan dengan logika transaksional semisal tadi "kan DEMA Univ HMI menang, yah fakultas PMII-lah biar impas". Penolakan dalil kedua itu semestinya karena status quo itu menistakan, mengancam atau buruk bagi masa depan berasama semisal penolakan atas patriarki bukan karena logika transaksional tetapi karena laki-laki di masa lalu sewenang-wenang memperlakukan perempuan. Bagimana cara membedakannya? Mana yang merupakan kepentingan segolongan orang dan mana yang merupakan kepentingan bersama? 

Sejarah menunjukan bahwa pejuang feminisme bukan Cuma perempuan tapi juga laki-laki, artinya apa? Artinya perubahan atas status quo kalau benar hal itu buruk maka seringkali perlawanannya di dukung beragam pihak. Lalu bagimana dengan yang terjadi di UIN? Apakah penerapan itu di dukung beragam pihak atau justru dipaksakan oleh satu pihak? Begitulah ujung dari pertanyaannya.

Karena jawabannya akan lucu, alih-alih e-voting disebut sebagai langkah kemajuan atau kebaruan, justru niat dibaliknya malah konservatif dan egois yakni politik identitas.

Kenapa pula mahasiswanya diam?

Sesuai janji saya untuk membahas kegagalan kampus atau dunia akademis dan kaitannya dengan pemira UIN. Pertama, seluruh sistem perguruan tinggi dari mulai seleksi masuk sampai kelulusan menunjukan maksudnya yang utama yakni membentuk nalar akademis dengan asumsi ketika seseorang objektif maka pembangunan akan tercipta. Asumsi itu boleh kita perdebatkan tapi yang lebih penting adalah bagaimana faktanya?

Penerapan e-voting tanpa keseriusan telah menunjukan cara pandang mahasiswa yang serabutan, di satu sisi ia menerima e-voting dengan perhitungan kuantitatif dan logika transaksional namun dalam contoh yag berbeda justru mereka menolaknya. 

Dan kita bisa berdebat apakah dua konsep itu boleh atau tidak, tapi yang saya fokuskan adalah peran kampus dalam hal ini telah gagal menciptakan seorang ilmuwan karena faktanya cara berpikir mahasiswa tidak sistematis, mereka menampah-kurangkan fakta sesuai kesukaan mereka. Emang apa hubungannya? Itu kan hak kita menerima dan tidaknya e-voting?

Oalah, kalau masih berpikir begitu, makin agal dunia akademis. Kenapa? Karena tulisan ini tidak bermaksud untuk menghakimi pilihan atau kesukaan orang, tapi sekali lagi justru hal itu telah menggambarkan kegagalan sistem akademik.

Terus gimana dong? Ya mari urutkan dan dudukan setiap persoalan pada kerangka yang sama, klo kita menolak membunuh satu orang bagi kemaslahatan itu artinya perhitungan kita kualitatif dan kalu kita menolak transaksional itu artinya konsep keadilan kita ideal. Dan dalam perhitungan kualitatif maka seharusnya tidak muncul pandangan untuk kebaikan bersama atau yang penting impas. 

Oleh karena itu siapapun yang menang tidak ada urusan dengan tulisan kritik ini, oh kalau gitu apa dong maksudnya? Nah ini baru pertanyaan keren, maksudnya adalah bahwa kalau kampus sudah gagal memberikan pembelajaran, tidak ada kata lain selain LAWAN!!

Apakah ada hubungan antara sistem pemira yang buruk dengan kepentingan kemenag yag di kuasai kelompok tertentu atau dengan kasus Rommy?

"Tuh liat bro, apa gua bilang Romahurmuzy udah ditangkep, Lukman Hakim di periksa, sekarang kita tinggal nunggu rektor UIN nih. Haha lu liat sendiri bro, karena rektor kita dipilih oleh kemenag, lewat broker, akhirnya pemira kita kacau, masa tiba-tiba muncul pelarang jam malam sama pemira di e-voting, mereka nih pasti pengen ngancurin HMI krn sejauh ini cuman UIN Jakarta yang belum dikuasai PMII" kelakar salah seorang teman di sela-sela tongkrongan.

Saya seringkali skeptik terhadap segala sesuatu yang dicocok-cocokan, alih-alih mencari narasi tunggal seringkali saya justru mempretelinya.  Tentu saja kita bisa berspekulasi akan keterlibatan rektor dan kasus Romahurmuzy atau menggiring opini publik dan membenci rektor dengan cara menghubung-hubungkan beberapa peristiwa semisal pertemuan 13 Juli 2018 terkait Rapat Koordinasi Struktural NU di Gd. Tarbiyah atau keterlibatan tokoh-tokoh seperti Prof Nasaruddin Umar, Prof Suparta, Imam Subekhi dan Prof Masykuri Abdullah dalam hal ini. 

Tetapi setiap hubungan itu mesti diuji, dalam hal ini kewenangan hanya ada pada KPK. Tapi bagi saya, ini bukan hanya persoalan penegakkan hukum, bukan pula hanya terkait tentang korupsi para pejabat, tapi lebih penting dari itu ini tentang dunia pendidikan, tentang masa depan generasi selanjutnya yang diabaikan demi hasrat segolongan dengan cara-cara sewenang-wenang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun