1. Â Â Â Â PENDAHULUAN
Pulau Jawa merupakan wilayah dengan jumlah penduduk paling padat di Indonesia dan berperan penting sebagai pusat ketahanan pangan nasional. Oleh karena itu, penilaian risiko kekeringan menjadi hal penting dalam upaya mitigasi bencana kekeringan.
1.1 Â Â Â Definisi Bencana Kekeringan
Bencana kekeringan dapat didefinisikan sebagaimana berikut:
a. Menurut BNPB (2021), kekeringan adalah ketersediaan air yang jauh di bawah kebutuhan air untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan. Kondisi ini bermula saat berkurangnya curah hujan di bawah normal dalam periode waktu yang lama sehingga kebutuhan air dalam tanah tidak tercukupi dan membuat tanaman tidak dapat tumbuh dengan normal.
b. Menurut Avia dkk. (2023), kekeringan merupakan bencana alam yang umumnya diartikan sebagai kekurangan curah hujan dalam jangka waktu tertentu, sehingga mengurangi ketersediaan air.
1.2 Â Â Penyebab Bencana Kekeringan
Seiring meningkatnya suhu permukaan bumi akibat perubahan iklim global, banyak kajian menunjukkan bahwa kejadian kekeringan di masa mendatang tidak hanya akan menjadi lebih sering terjadi, tetapi juga akan berlangsung dengan intensitas yang lebih tinggi. Pemanasan global telah mengubah pola curah hujan dan memperpendek siklus air yang normal, sehingga menyebabkan ketidakseimbangan dalam sistem hidrologi. Ketika curah hujan menurun dalam waktu yang lama dan cadangan air tidak cukup, kekeringan menjadi tak terhindarkan. Ini sangat berdampak pada sektor pertanian, ketahanan pangan, dan kehidupan masyarakat secara umum, terutama di wilayah-wilayah rentan seperti Jawa Barat (Avia dkk., 2023).
    Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB, 2021) menjelaskan bahwa kekeringan di Indonesia merupakan bencana kompleks yang disebabkan oleh gabungan faktor klimatologis, geografis, lingkungan, dan sosial. Fenomena ini tidak hanya terjadi karena musim kemarau yang panjang, tetapi juga diperparah oleh kerusakan lingkungan dan lemahnya pengelolaan sumber daya air. Secara umum, BNPB mengidentifikasi beberapa penyebab utama kekeringan di Indonesia, antara lain:
- Curah hujan yang rendah, yang disebabkan oleh rendahnya produksi uap air dan pembentukan awan, sehingga musim kemarau menjadi lebih panjang dan kering.
- Letak geografis Indonesia yang berada di garis khatulistiwa dan diapit oleh dua benua dan dua samudra menyebabkan wilayah ini sangat terpengaruh oleh fenomena monsun dan perubahan tekanan udara yang ekstrem.
- Fenomena El Nio, yaitu anomali suhu permukaan laut di Samudra Pasifik yang mengganggu pola cuaca normal dan menyebabkan penurunan curah hujan secara signifikan di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
- Alih fungsi lahan, seperti konversi lahan hijau menjadi pemukiman, kawasan wisata, atau infrastruktur lain, yang mengurangi kemampuan tanah dalam menyerap air hujan.
- Kerusakan hidrologis, misalnya sedimentasi berlebih pada waduk dan saluran irigasi yang menurunkan kapasitas penampungan air.
- Kehilangan tutupan vegetasi, yang menyebabkan berkurangnya infiltrasi air dan meningkatnya limpasan permukaan (surface run-off).
- Penggunaan air secara berlebihan, baik untuk kebutuhan rumah tangga maupun pertanian, tanpa sistem pengelolaan yang efisien dan berkelanjutan.
- Dampak dari penyebab-penyebab tersebut bukan hanya terbatas pada kekurangan air, tetapi juga bisa memicu bencana lanjutan seperti krisis pangan, kerusakan ekosistem, penyebaran penyakit, dan menurunnya kualitas hidup masyarakat.
1.3 Â Â Dampak Bencana Kekeringan
Kekeringan merupakan bencana hidrometeorologi yang berdampak luas dan serius terhadap kehidupan manusia di berbagai belahan dunia. Dampak utamanya tidak hanya terbatas pada kerugian fisik, tetapi juga meliputi kerugian ekonomi, sosial, dan lingkungan. Oleh karena itu, kekeringan termasuk dalam kategori bencana alam yang paling merugikan dari segi finansial (Avia dkk., 2023).
    Di Indonesia, perubahan iklim yang semakin ekstrem memperburuk kondisi kekeringan, yang pada akhirnya berkontribusi pada krisis air dan ketahanan pangan. Suhu yang terus meningkat dan pola cuaca yang tidak menentu membuat pasokan air menjadi tidak stabil, sehingga sektor pertanian dan penyediaan pangan turut terganggu. Fenomena ini menjadi tantangan besar bagi ketahanan sumber daya air dan pangan nasional (BMKG, 2025).
    Dampak kekeringan terhadap kesehatan dan kesejahteraan manusia juga sangat signifikan. Berkurangnya ketersediaan air menyebabkan kematian tanaman yang menjadi sumber pangan dan oksigen bagi manusia. Selain itu, kelangkaan air minum meningkatkan risiko dehidrasi, sementara keterbatasan air untuk kebutuhan sehari-hari seperti mandi, memasak, dan sanitasi dapat memicu masalah kesehatan dan memperburuk kondisi lingkungan (Kemenkes, 2021).
1.4 Â Â Penelitian Terdahulu
Kekeringan di Provinsi Jawa Barat merupakan fenomena yang kompleks dan berdampak luas, baik secara spasial maupun sosial. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kondisi ini dipengaruhi oleh faktor iklim global, distribusi penduduk, hingga kesiapsiagaan masyarakat.
    Pertama, secara spasial dan temporal, Purnamasari (2021) menjelaskan bahwa puncak kekeringan di Jawa Barat terjadi pada musim kemarau, terutama periode Juni–Agustus (JJA) dan berlanjut hingga September–November (SON). Kekeringan tersebut bersifat merata pada bulan Juli–Agustus, lalu terkonsentrasi di wilayah utara pada bulan-bulan berikutnya. Sementara itu, pada musim hujan awal (Januari–Maret), kekeringan hanya terjadi di sebagian kecil wilayah barat dan selatan Jawa Barat. Penelitian ini menekankan peran signifikan El Niño dalam memperparah kekeringan musiman di wilayah ini.
   Selanjutnya, Sanjaya (2024) memperkuat temuan ini dengan pendekatan indeks kekeringan Standardized Precipitation Index (SPI) dan metode spasial berbasis ArcGIS. Ia mencatat bahwa rata-rata keparahan kekeringan akibat El Niño 2023 di Pulau Jawa mencapai nilai SPI -0,84 ± 0,28, dengan Jawa bagian selatan sebagai daerah terdampak terparah. Kekeringan berlangsung rata-rata selama lima bulan, terutama pada periode September hingga Desember 2023, menjadikan Provinsi Banten dan Jawa Barat sebagai wilayah yang mengalami kekeringan terparah dalam skala waktu menengah hingga panjang.
   Di sisi lain, Tejakusuma (2023) menekankan dampak kekeringan terhadap sektor pertanian dan kehidupan masyarakat. Ia mencatat bahwa fenomena El Niño 2015 menyebabkan peningkatan luas wilayah terdampak secara signifikan pada bulan Agustus, dengan hampir seluruh Jawa Barat mengalami musim kering ekstrem. Wilayah seperti Kabupaten Cianjur dan Kecamatan Lembang terdampak langsung, di mana akses air bersih terganggu dan lahan pertanian sayuran mengalami gagal panen. Hal ini berdampak pada ekonomi lokal dan ketahanan pangan.
   Lebih lanjut, studi Tejakusuma juga menyoroti kerentanan masyarakat akibat rendahnya kesiapsiagaan. Di Desa Cihideung dan Tugumukti, masyarakat belum sepenuhnya siap menghadapi kekeringan, baik secara struktural maupun kultural. Minimnya edukasi bencana, belum terbentuknya Komunitas Siaga Bencana (KSB), dan absennya infrastruktur pendukung seperti lumbung padi menjadi hambatan besar dalam mitigasi risiko. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya sistem peringatan dini hidrometeorologi berbasis sensor yang mampu memberikan peringatan langsung kepada masyarakat. Sistem ini dapat ditingkatkan efektivitasnya melalui visualisasi sederhana seperti lampu indikator warna di lokasi strategis.
   Dari sisi tata kelola sumber daya air dan kependudukan, Nilawangsa (2023) menyoroti persoalan mendasar yang terjadi di Kabupaten Bekasi. Di sana, distribusi air bersih yang tidak merata menyebabkan tekanan lingkungan pada wilayah-wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi. Permasalahan distribusi ini menjadi krusial ketika kekeringan melanda, karena tidak hanya berdampak pada air untuk konsumsi, tetapi juga menimbulkan persoalan sosial terkait daya dukung wilayah. Dalam konteks ini, kekeringan tidak hanya menjadi isu iklim semata, melainkan juga masalah struktural dalam tata kelola wilayah.
   Secara keseluruhan, keempat penelitian tersebut menampilkan gambaran menyeluruh tentang bencana kekeringan di Jawa Barat: dari kronologi kejadian dan pola spasial-temporal, dampak terhadap pertanian dan kehidupan masyarakat, hingga isu tata kelola dan pentingnya mitigasi. Penguatan sistem peringatan dini, edukasi kebencanaan, dan distribusi air bersih yang adil menjadi elemen vital dalam merespons fenomena ini secara komprehensif.
2. Â Â Â Kondisi Iklim dan Lingkungan
Kondisi iklim menentukan pola curah hujan dan suhu yang memengaruhi ketersediaan air di suatu wilayah. Topografi berperan dalam mengarahkan aliran air dari curah hujan, baik menuju daerah rendah maupun meresap ke dalam tanah, sehingga memengaruhi potensi genangan atau kekeringan. Hidrologi merupakan hasil interaksi antara iklim dan topografi yang mencerminkan keseimbangan pasokan dan pergerakan air, serta menentukan tingkat kerentanan wilayah terhadap bencana hidrometeorologi.
2.1 Â Â Â Kondisi Iklim
Provinsi Jawa Barat memiliki iklim tropis dengan suhu rata-rata antara 16°C hingga 34°C dan curah hujan tahunan yang bervariasi antara 1.000 hingga 4.000 mm. Pola curah hujan di wilayah ini dipengaruhi oleh sistem Monsun, dengan puncak hujan biasanya terjadi pada bulan Desember atau Januari saat monsun barat dominan, dan curah hujan minimum terjadi pada bulan Agustus. Persebaran curah hujan menunjukkan wilayah utara dan sebagian wilayah tengah memiliki curah hujan yang lebih rendah, sedangkan wilayah barat-selatan, tengah, dan timur-selatan memiliki curah hujan yang lebih tinggi (BNPB, 2021).
2.2 Â Â Kondisi Topografi
Topografi wilayah Jawa Barat secara umum terdiri dari dataran landai, lereng berbukit, hingga pegunungan curam yang membentang dari utara ke selatan. Wilayah dataran landai mencakup 54,02% dan berada di bagian utara dengan ketinggian 0–10 meter di atas permukaan laut (mdpl), sedangkan wilayah lereng bukit yang landai mencakup 36,48% dan terletak di bagian tengah dengan ketinggian 10–1.500 mdpl. Adapun wilayah pegunungan curam terletak di bagian selatan, mencakup 9,5% dari total luas wilayah, dengan ketinggian lebih dari 1.500 mdpl (BNPB, 2021).
2.3 Â Â Kondisi Hidrologi
Wilayah Jawa Barat memiliki sistem hidrologi yang kompleks dengan 41 Daerah Aliran Sungai (DAS), yang terdiri atas 21 DAS yang bermuara ke Laut Jawa dan 20 DAS ke Samudera Indonesia. Berdasarkan Permen PUPR No. 4 Tahun 2015, seluruh DAS ini dikelompokkan ke dalam enam Wilayah Sungai (WS), yakni WS Ciliwung-Cisadane, WS Citarum, WS Cimanuk-Cisanggarung, WS Citanduy, WS Cisadea-Cibareno, dan WS Ciwulan-Cilaki, dengan luas total mencapai 37.060,40 km² dan potensi sumber daya air sebesar 48.023,78 juta m³ per tahun. Selain itu, Jawa Barat juga memiliki 27 Cekungan Air Tanah (CAT) yang tersebar merata, berperan penting dalam sistem air tanah (BNPB, 2021).
3. Â Â Â ANALISIS RISIKO BENCANA KEKERINGAN WILAYAH JAWA BARAT
Analisis risiko bencana kekeringan di Jawa Barat diawali dengan pemanfaatan data dan metode kajian untuk memetakan tingkat bahaya, kerentanan, serta kapasitas wilayah. Bahaya mencerminkan potensi kekeringan yang terjadi, kerentanan menunjukkan tingkat dampak terhadap masyarakat dan lingkungan, sementara kapasitas menggambarkan kemampuan wilayah dalam merespons dan beradaptasi. Ketiga komponen ini saling berinteraksi dan menghasilkan tingkat risiko yang dihitung melalui rumus: