Hari ini, aku melangkah bersama umat, mengikuti perarakan daun palma dari luar menuju ruang kudus. Seperti terbawa ke dalam peristiwa yang terjadi dua ribu tahun lalu, suasana begitu hidup.Â
Lagu "Ketika Yesus disambut di kota Yerusalem..." mengalun, dan serentak umat melambaikan daun palma ke udara. Di tanganku sendiri, sehelai palma terasa ringan... namun menyimpan makna yang berat.
Aku tertegun. Di sekelilingku, ada yang melambaikan daun itu dengan sukacita, ada pula yang diam memeluknya erat. Wajah-wajah menatap ke depan, seolah sedang menyambut Sang Raja yang datang.Â
Dan memang itulah yang dikenang: Yesus memasuki Yerusalem, disambut bagai raja, dielu-elukan, dikelilingi umat seperti lautan.
Namun aku tahu, sambutan itu tak bertahan lama. Hanya beberapa hari kemudian, suara "Hosana!" berganti menjadi "Salibkan Dia!"
Lalu aku bertanya dalam hati: apakah aku pun begitu? Hari ini menyambut dengan gegap gempita, tapi mudah berbalik saat kenyataan menjadi berat?
Suasana gereja hari ini sungguh mendalam. Kain merah tergantung di altar, tanda cinta dan pengorbanan.Â
Daun palma dibagikan, bukan hanya sebagai tradisi, tetapi sebagai simbol penghormatan, pengharapan, dan kemenangan, seperti di masa lampau saat daun itu dipakai menyambut raja dan pahlawan yang pulang dari perang.
Namun Yesus bukan raja biasa. Ia datang bukan dengan pasukan, melainkan dengan kelembutan dan kerendahan hati. Ia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia tahu sambutan ini akan segera pudar. Tapi Ia tetap berjalan.