Mohon tunggu...
Lutfillah Ulin Nuha
Lutfillah Ulin Nuha Mohon Tunggu... Founder Neptunus Kreativa Publishing

Tumbuh sehebat do'a ibu | Menjadi ruang bagi ide-ide yang dianggap terlalu idealis untuk dunia yang sibuk menghitung untung-rugi |

Selanjutnya

Tutup

Diary

Kereta Ekonomi, Cermin Kehidupan dan Jejak Kebaikan

16 September 2025   07:41 Diperbarui: 16 September 2025   07:41 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ada kebaikan yang lahir tanpa rencana, sekadar refleks dari hati yang tak tega melihat orang lain kesulitan. Kebaikan itu mungkin tampak sepele, sekadar mengangkat koper, memberi kursi, atau berbagi sebungkus permen. Namun bagi yang menerima, ia bisa menjadi pengingat bahwa dunia masih menyimpan cahaya. Kereta ekonomi, dengan segala kesederhanaannya, adalah panggung kecil tempat kebaikan itu hidup tidak dibuat-buat, tidak diminta, dan tidak selalu dikenang, tetapi meninggalkan jejak yang sulit dihapus dari hati manusia."

Kereta yang Menjadi Ruang Belajar

Ada sesuatu yang selalu membuat saya jatuh cinta pada kereta ekonomi. Bukan kenyamanannya karena kursi tegak dan ruang yang sempit sering kali terasa melelahkan. Bukan pula fasilitasnya karena semua serba sederhana dan apa adanya.

Yang membuat saya betah adalah cerita-cerita kecil yang hidup di dalamnya. Perjumpaan dengan orang asing yang entah kenapa terasa akrab, sapaan singkat yang berubah jadi obrolan panjang, atau sekadar berbagi colokan listrik dan makanan ringan. Di sanalah, saya merasa sedang belajar banyak tentang manusia.

Adegan yang Terjadi Begitu Cepat

Siang itu, di dalam gerbong kereta ekonomi yang memulai perjalanan dari Stasiun Lempuyangan dipenuhi penumpang dengan berbagai tujuan akhir. Suasana riuh rendah dengan suara pedagang asongan, anak-anak kecil yang rewel, dan orang-orang dewasa yang mulai letih menunggu perjalanan panjang selesai.

Saya berdiri di lorong setelah menuntaskan hajat di toilet kecil, hendak kembali ke tempat duduk semula, ketika mata saya menangkap seorang ibu yang kebingungan dengan kopernya. Warnanya merah menyala, cukup besar, dan jelas terlalu berat untuk diangkat sendirian.

Refleks saja, saya mengulurkan tangan dan membantu menaikkannya ke rak atas. Tak ada niat apa-apa, hanya gerakan spontan. Tapi saat koper itu akhirnya tersimpan dengan aman, saya melihat wajah ibu tersebut berbinar penuh rasa syukur.

Ia menoleh pada saya, tersenyum lebar, tangannya terangkat seolah ingin mengucap terima kasih lebih dari sekadar kata. Saya hanya mengangguk sambil tersenyum kembali. Bagi dia mungkin itu pertolongan besar. Bagi saya, itu hanyalah sesuatu yang wajar dilakukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun