Ah, lagi-lagi keraguan menduduki pikiranku. Bagaimana tidak, sikap abai seseorang yang kusemogakan untuk menjadi jawaban dari pertanyaanku, membuat hal-hal yang kutakutkan malah menjadi-jadi.
Mungkinkah ini menjadi sebuah kejadian yang melatarbelakangi kehilangan. Mematahkan harapan. Mementahkan kebahagiaan yang diinginkan. Ketika satu hanya peribahasa, akankah kalimat ini akan berujung pada hatiku?
Aku sudah sejauh ini. Melepaskan ketakutan pada disabilitas yang menghantuiku. Tapi kali ini, sepertinya ada keraguan yang mengikat rasa. Entah karena keterbatasanku. Entah karena keterbatasanmu.
Ketika satu hanya peribahasa? Yang terjadi adalah patah hati. Aku menjadi kaku/gagu. Merasakan ratapan yang tidak ingin kurasakan. Mungkin sebenarnya, perasaan kita hanya sebagai persinggahan bukan perasaan yang ingin menetap.
Ketika satu hanya peribahasa? Sepertinya perasaanmu dan perasaanku adalah ajang untuk berpura-pura di dalam canda. Ahhh, menyebalkan bukan. Hati dan mata tersibukkan pada keegoisan.
Huft, sakit sekali. Ketika satu hanya peribahasa. Aku jadi kecut dan tawar hati.
Saat-saat seperti ini, aku ingin menjadi  batu, agar aku tidak lagi mendengar dan memperdulikan yang kudengar dan kurasakan. Harus merelakan dan melepaskan diri dari aroma penghapus kenangan yang kuingin jadi teman hidupku. Ternyata rasa, bisa berkhianat pada harap.
Apa lebih baik dari awal, tidak membuka hati. Lebih baik jomblo sepertinya dari pada seperti ini.
***
Rantauprapat, 21 Februari 2021
Lusy Mariana Pasaribu