Bagaimana caranya supaya yang kita cintai itu tidak terluka? Pertanyaan yang kuterima tepat pukul 00:00 WIB pada hari keenam di bulan Februari. Pertanyaan yang belum atau bahkan tak akan pernah kujawab.
Ada yang menawarkan duka, enggan untuk menerima tapj tak bisa ditolak. Ada jeda di persimpangan pertemuan, jeda yang menjauh sepertinya. Rasa-rasanya terlalu dini, jika ini waktunya pamit.
Ini tentang dia yang menyembunyikan luka. Dia, perempuan yang menanggung duka kehilangan. Takut untuk memulai, lebih takut untuk berpisah. Mata telanjang perempuan itu perih karena tangisan.
Perempuan oh perempuan, lagi-lagi kau jatuh pada kenyamanan yang sia-sia. Kau kaku dan beku, entah kau akan kembali mekar atau malah merayakan kehilangan. Jika ini berakhir pada kesendirian, kau tak harus menganggap sepi kesendirian itu.
Dan, aku beranggapan ada saatnya kita menanggung sebuah kehilangan. Hilang karena jeda, atau hilang tanpa perpisahan yang layak. Ah, duka pun tak harus dirawat dan dipelihara bukan.
Seharusnya dan selayaknya perempuan itu memelihara diri dari kesukaran. Tidak menjadi gong yang gemerincing apa lagi layu oleh angin timur yang meniupkan aromanya.
Di antara ketakutan demi ketakutan yang menghantui perempuan itu, pernah ada yang ia yakini sebagai jawaban dari ketakutannya. Pun sebagai jawaban doanya. Kini, jawaban yang ia yakini itu berganti nama dan berganti wajah pada nama keraguan yang berarus gaduh dan berakhir pada jeda yang jauh.
Ya, duka kehilangan adalah tanda dari kekalahan rasa. Rasa yang sulit dipahami kadang kala. Hu, aku berharap perempuan itu akan mampu melewati duka kehilangan yang ia rasakan. Perempuan itu pun tidak kehilangan tabah dan mampu untuk tenang teduh.
***
Rantauprapat, 06 Februari 2021
Lusy Mariana Pasaribu