Banyak tuduhan diajukan padamu hari ini, hari di mana sejarah yang dahulu kembali terulang. Penuh luka dan duka. Kau membelenggu kesadaranmu dan menyerahkannya kepada pohon keangkuhan yang sia-sia.
Hari ini, kau sama sekali tidak membantah tuduhan itu. Hanya isak tangis yang menjadi reaksimu. Entah kau menyesal entah tidak. Perempuan oh perempuan, mau sampai berapa lama lagi kau seperti ini.
Kejahatan apa yang telah kami lakukan, hingga kau berhasil menjadi lalang pada gandum yang kita miliki. Sepertinya, kau akan terhitung di antara orang-orang yang penuh kepandiran.
Perempuan oh perempuan, mengapa kau meninggalkan jejak kejujuran? Mungkin di depan manusia kau bisa bersandiwara. Hingga menjadi manusia yang berpangkat Tuhan. Tapi di depan Tuhan, kau tak pernah bisa bersandiwara. Ahh, inilah saat persembunyianmu terungkap.
Hati kami gundah karena tekanan yang kau berikan. Setelah hari ini, bisakah kejujuran kau miliki lagi? Lagi-lagi ini menjadi pertanyaan yang besar dan sulit untuk menduga. Berulang kali terkecoh, saat memberi harapan dan kesempatan padamu.
Hari ini, biarlah kami marah. Besok, semoga lebih tenang teduh dalam menerima kenyataan yang kau beri. Kami tidak bisa pura-pura saja menanggapimu. Sesungguhnya, tak ada niat untuk menjatuhkanmu. Atas duka luka hari ini, semoga daun kepandiranmu akan layu.
Usai sudah kau membelenggu kesadaranmu. Biarlah kau belajar dari kejadian ini dan tidak lagi-lagi pedih menampar kami dan itu disebabkan olehmu. Dan kita tidak akan lagi tenggelam di dasar samudera kesedihan.
Perempuan oh perempuan. Bila saja kau tak berlawanan dengan kejujuran, mungkin duka luka ini tak begitu dalam.
***
Rantauprapat, 29 Januari 2021
Lusy Mariana Pasaribu