Saat aku tertidur, kau malah berangkat di malam hari untuk menyelesaikan tanggung jawabmu.
Dengan tubuhmu yang mulai rentan, rambut hitammu yang mulai memutih, juga lelahmu yang kau abaikan. Aku melihat perjuangan hidupmu.
Dan. Sebelum kakimu melangkah malam ini, aku melihat kau menerima ratapan dan kenyataan yang membuat jiwamu dirundung duka.
Ratapan yang seharusnya tidak kau terima. Karena aku tahu kau tidak layak mendapatkan itu, menerima pemberontakan dari seseorang yang sudah yang sudah kau beri banyak penerimaan.
Memang aku tak melihatmu menangis, Â tapi aku merasakan ada hujan air mata di hatimu. Raut wajahmu berubah seketika. Aku tahu kau tak kuasa, membunuh ucapan yang beracun dari perempuan itu. Yang kau lakukan hanya membiarkan perasaan kecewamu mati terbunuh. Agar kau tak kehilangan cahaya kasih di hatimu.
Tak kupungkiri, sesekali aku memang kecewa terhadap sikapmu. Kutemukan dirimu terperosok dalam kekeliruan. Menyimpang ke jalan yang bukan kebenaran yang seutuhnya.
Namun ratapan yang kulihat malam ini, buat kesadaranku terbangkitkan, keharusan bagiku untuk menumbuhkan ladang kesadaran dan rasa maaf di halaman hatiku, ketika aku masih memiliki kesempatan untuk melihat dan merasakan kebersamaan bersamamu di musim hidupku.
Bahwa terlalu berharga, menyia-nyiakan penerimaan dan kebersamaan kita dengan mengucapkan kata yang merusak jiwa.
***
Rantau Prapat, 18 September 2020
Lusy Mariana Pasaribu