Mohon tunggu...
Luqmanul hakim
Luqmanul hakim Mohon Tunggu... DIrektur Program dan Pemenangan Pusat Polling Indonesia

Peneliti dan konsultan komunikasi politik di Pusat Polling Indonesia yang berdedikasi dalam riset survei, analisis strategis, dan jurnalisme. Alumni Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Juga lulusan Magister Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina. Selama 6 tahun menjadi jurnalis TV di NET TV dengan berbagai penugasan dari politik, ekonomi, hukum dan luar negeri. Saat ini menjabat sebagai Direktur Program Pusat Polling Indonesia lembaga yang didirikan untuk ikut terlibat dalam pembangunan nilai-nilai demokrasi di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Politik

PPP di Persimpangan: Menanti Nahkoda Baru di Tengah Badai

17 September 2025   16:28 Diperbarui: 17 September 2025   16:28 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KH Idror Maimoen adalah figur muda yang membawa legitimasi kultural. Sebagai putra KH Maimoen Zubair, ia memiliki simbol kuat di kalangan pesantren. Namun, ia minim pengalaman politik nasional. Banyak yang meragukan apakah simbol saja cukup untuk mengarungi kerasnya pertarungan politik Indonesia.

Sementara itu, Agus Suparmanto mantan Menteri Perdagangan sekaligus tokoh bisnis datang dengan modal jaringan ekonomi dan akses politik yang luas. Ia pernah masuk kabinet Presiden Jokowi, sehingga dianggap memiliki kedekatan dengan lingkar kekuasaan. Kehadirannya menambah warna kontestasi karena menawarkan kombinasi antara pragmatisme politik dan kekuatan finansial. Pertanyaannya, apakah modal itu cukup untuk membangun kembali rumah besar umat bernama PPP?

Di luar pertarungan internal, ada satu faktor yang tak bisa diabaikan: restu istana. Dalam politik Indonesia, terutama sejak reformasi, partai kecil sulit bertahan tanpa legitimasi dan akses kekuasaan dari presiden. Restu istana menentukan posisi di kekuasaan, sumber daya logistik, hingga ruang manuver politik.

PPP selama ini terbiasa menjadi partai penopang koalisi. Sejak era SBY hingga Jokowi, PPP selalu berada di lingkar kekuasaan. Ini menjadi cara bertahan hidup. Tanpa kursi di kabinet, PPP hampir tidak punya daya tawar. Dengan Prabowo Subianto kini memimpin pemerintahan, siapakah yang akan lebih dekat dengan istana apakah Mardiono yang dikenal pragmatis, Gus Idror yang membawa legitimasi pesantren, atau Agus Suparmanto dengan akses bisnis-politiknya?

Pekerjaan Rumah Ketua Umum Baru

Siapapun yang terpilih nanti, ia akan menghadapi pekerjaan rumah yang berat. Pertama, konsolidasi internal. PPP adalah partai yang sarat faksi, dari kelompok pesantren, kelompok politisi pragmatis, hingga kelompok bisnis. Ketua baru harus mampu merajutnya menjadi kekuatan. Kedua, reposisi ideologi. PPP harus kembali menemukan narasi besarnya. Islam yang membumi, tradisional namun progresif. Narasi ini tidak boleh berhenti pada jargon "Islam moderat," tapi harus menyentuh isu kontemporer seperti keadilan sosial, ekonomi hijau, digitalisasi pendidikan, dan pemberdayaan perempuan.

Ketiga, merebut kembali basis Nahdliyin. PPP tidak boleh menyerahkan seluruhnya kepada PKB. Sebagai partai yang lahir dari fusi Islam, PPP punya legitimasi sejarah untuk tetap berdiri di tengah komunitas pesantren. Namun pendekatannya harus segar: dengan anak muda, dengan isu-isu milenial, dengan gaya komunikasi digital.

Keempat, transformasi digital dan regenerasi. PPP tidak bisa lagi mengandalkan pola lama dengan baliho dan ceramah. Ia harus masuk ke TikTok, Instagram, dan ruang digital anak muda. Politik hari ini bukan hanya tentang ceramah kiai, tapi juga tentang narasi di ruang maya.

Kelima, membuktikan relevansi di daerah. Jika PPP bisa menguasai kembali basisnya di daerah, ia punya modal untuk kembali ke Senayan. Jika tidak, PPP akan makin tenggelam sebagai partai sejarah.

Politik sebagai Amanah, Jalan Menuju 2029

Pada akhirnya, pertarungan di Muktamar PPP bukan sekadar soal siapa yang duduk sebagai ketua umum. Ini adalah pertarungan tentang arah, identitas, dan amanah sejarah. KH Maimoen Zubair pernah berpesan bahwa politik adalah jalan pengabdian, bukan sekadar perebutan kekuasaan. Amanah ini kini diwariskan kepada generasi baru.

PPP harus menjawab pertanyaan: apakah ia masih ingin hidup sebagai partai umat, atau puas menjadi catatan kaki sejarah? Restu istana mungkin penting, tapi restu umat jauh lebih penting. Ketua umum baru entah Mardiono dengan pragmatismenya, Idror dengan warisan kulturalnya, atau Agus Suparmanto dengan akses bisnis politiknya harus mampu menjawab amanah itu.

Seperti kata Ibn Khaldun dalam Muqaddimah: "Kekuasaan adalah persekutuan antara manusia yang membutuhkan legitimasi moral dan kekuatan material." Tanpa keduanya, kekuasaan hanya akan menjadi bayang-bayang. Bagi PPP, saat ini adalah momentum untuk membuktikan apakah ia masih menjadi bayang-bayang sejarah, atau menjadi fajar baru yang lahir dari luka kekalahan Pemilu 2024.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun