Mohon tunggu...
Luqmanul hakim
Luqmanul hakim Mohon Tunggu... DIrektur Program dan Pemenangan Pusat Polling Indonesia

Peneliti dan konsultan komunikasi politik di Pusat Polling Indonesia yang berdedikasi dalam riset survei, analisis strategis, dan jurnalisme. Alumni Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Juga lulusan Magister Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina. Selama 6 tahun menjadi jurnalis TV di NET TV dengan berbagai penugasan dari politik, ekonomi, hukum dan luar negeri. Saat ini menjabat sebagai Direktur Program Pusat Polling Indonesia lembaga yang didirikan untuk ikut terlibat dalam pembangunan nilai-nilai demokrasi di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Politik

PPP di Persimpangan: Menanti Nahkoda Baru di Tengah Badai

17 September 2025   16:28 Diperbarui: 17 September 2025   16:28 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Luqmanul Hakim Direktur Program Pusat polling Indonesia

Setiap partai politik memiliki titik balik, saat ia harus memilih apakah tetap berjalan di jalur lama atau berbelok mengambil arah baru. Partai Persatuan Pembangunan (PPP), partai Islam tertua yang masih bertahan sejak era Orde Baru, kini berdiri di persimpangan itu. Untuk pertama kalinya sejak didirikan pada tahun 1973, PPP kehilangan kursinya di parlemen setelah dalam Pemilu 2024 hanya meraih 3,87 persen suara, terpaut tipis dari ambang batas parlemen 4 persen.Untuk memahami luka hari ini, kita harus melihat kembali sejarah PPP. PPP lahir pada 1973 sebagai hasil fusi empat partai Islam yaitu Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslim Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Persatuan Islam (Perti). Seperti ditulis dalam catatan politik Orde Baru, fusi ini merupakan strategi Presiden Soeharto untuk menyederhanakan sistem kepartaian menjadi tiga partai saja: Golkar, PDI, dan PPP.

Selama lebih dari dua dekade dalam kekuasaan Orde Baru, PPP bertahan sebagai simbol politik Islam. Ka'bah menjadi simbol perlawanan spiritual, meskipun di ruang politik ia lebih sering jadi pelengkap daripada pemain utama.

Reformasi 1998 membuka jalan baru. PPP ikut serta dalam euforia demokrasi, bahkan sempat menjadi salah satu partai besar pada awal reformasi. Namun seiring waktu, partai-partai baru bermunculan. PKB lahir dari rahim NU, PAN dari Muhammadiyah, PKS dari tarbiyah kampus. PPP, yang dulu menjadi rumah besar umat Islam, mulai kehilangan ceruknya.

Sejarah politik Indonesia mengajarkan bahwa partai yang gagal beradaptasi akan kehilangan relevansi. PNI pernah besar kemudian melemah dan berubah menjadi PDI lalu PDI Perjuangan. Parmusi dan PSII lenyap dalam fusi. PPP kini menghadapi dilema serupa: apakah bertahan sebagai "partai warisan" atau lahir kembali sebagai kekuatan baru?

Kekalahan Menjadi Luka Kolektif

Kekalahan PPP pada Pemilu 2024 tidak hanya menyakitkan secara elektoral, tetapi juga mengguncang identitas partai. Seperti kapal tua yang terombang-ambing di tengah badai, PPP kehilangan jangkar ideologisnya dan terombang-ambing di antara gelombang pragmatisme politik. Pertanyaan besar pun menyeruak: siapa yang akan menjadi nakhoda baru, dan ke mana arah layar PPP dibentangkan?

Dengan suara 3,87 persen, PPP untuk pertama kalinya gagal menempatkan wakil di Senayan. Kekalahan ini adalah luka kolektif, bukan sekadar angka.

Di balik kekalahan itu, banyak faktor disebut sebagai penyebabnya. Pertama, kepemimpinan Plt Ketua Umum Muhammad Mardiono dinilai gagal melakukan konsolidasi internal. Sejak menggantikan Suharso Monoarfa pada 2022, Mardiono tidak mampu menyatukan faksi-faksi internal yang selama ini menjadi ciri khas PPP. Kedua, secara elektoral, PPP kehilangan ceruk tradisionalnya di kalangan Nahdliyin, yang sebagian besar kini beralih ke PKB. Ketiga, narasi politik Islam moderat yang coba diangkat PPP tidak menemukan gema di tengah ruang publik.

Sebagai perbandingan, PKB justru berhasil naik signifikan, mengukuhkan diri sebagai kekuatan politik NU. Sementara PKS mempertahankan basisnya di perkotaan dan kalangan muda. PPP tertinggal di tengah, seperti kapal tua yang tidak tahu ke pelabuhan mana harus berlabuh.

Muktamar 2025: Pertarungan Arah dan Legitimasi

Kini, PPP menatap Muktamar ke-X yang akan digelar September 2025. Inilah titik penentuan. Setidaknya tiga nama muncul sebagai poros utama: Muhammad Mardiono, KH Idror Maimoen, dan Agus Suparmanto.

Mardiono mewakili kesinambungan pragmatis. Ia bukan figur ideologis, melainkan manajer politik. Jaringan bisnis dan kedekatannya dengan elite kekuasaan membuatnya dipandang mampu menjaga PPP tetap berada di lingkar kekuasaan, meski kecil. Namun, rekam jejak Pemilu 2024 menunjukkan kegagalannya membangkitkan partai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun