Haji adalah salah satu pilar utama dalam Islam, sebuah perjalanan spiritual yang menjadi dambaan jutaan umat. Di balik setiap nama yang tercatat dalam daftar tunggu, tersimpan doa panjang, tabungan puluhan tahun, dan harapan sederhana: semoga Allah memberi umur panjang agar kelak bisa menjejakkan kaki di Tanah Suci. Namun, di tengah kesakralan ibadah ini, publik justru diguncang oleh dugaan praktik korupsi kuota haji yang kini tengah disidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kasus ini diduga melibatkan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, penyelenggara travel, hingga tokoh-tokoh yang semestinya menjadi teladan moral.
Peristiwa ini mengingatkan kita bahwa kerakusan bisa menyusup ke ruang mana pun, bahkan ke ruang yang seharusnya paling suci. Presiden Prabowo Subianto pernah menyebut istilah serakahnomic sebuah ekonomi rakus yang dijalankan demi kepentingan segelintir elite. Kini istilah itu menemukan relevansinya: ibadah yang mestinya menjadi simbol kesetaraan umat, justru diperdagangkan melalui jalur gelap korupsi kuota haji.
Jejak Luka Panjang Pengelolaan Haji
Masalah tata kelola haji di Indonesia bukanlah hal baru. Sejak lama, publik disuguhi berbagai ironi, mulai dari penyalahgunaan kuota, penyimpangan dana, hingga praktik percaloan. Tahun 2014, mantan Menteri Agama Suryadharma Ali dipidana karena terbukti melakukan penyalahgunaan kuota haji. Itu menjadi penanda awal betapa sistem pengelolaan ibadah ini rawan ditunggangi kepentingan sempit.
Kini, lebih dari satu dekade setelah kasus itu, pola serupa kembali menyeruak. Bedanya, skandal terbaru ini lebih kompleks karena melibatkan konsorsium travel, asosiasi resmi, bahkan oknum pejabat di Kementerian Agama. Publik pun kembali menatap dengan getir: seakan-akan setiap upaya perbaikan hanya berakhir menjadi lingkaran setan yang terus berulang.
Serakahnomic: Kerakusan di Balik Kuota Haji
Dalam bahasa sederhana, korupsi kuota haji adalah potret nyata dari serakahnomic. Kuota tambahan dari Pemerintah Arab Saudi, yang seharusnya menjadi anugerah bagi jamaah dengan antrean panjang, justru dijadikan komoditas. Mereka yang mampu membayar ratusan juta rupiah bisa melesat cepat, sementara yang miskin hanya bisa menunggu, kadang hingga ajal menjemput.
Keserakahan ini bekerja melalui mekanisme yang sangat sistematis: kuota dibagi, sebagian disalurkan melalui travel, lalu dimonetisasi dengan harga tertentu. Ada yang menyebut angka "fee" mencapai 40 hingga 100 juta rupiah per kepala. Mekanisme ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga merampas nilai keadilan.
Dalam perspektif etis, inilah bentuk pengkhianatan terhadap prinsip ibadah haji itu sendiri: kesetaraan umat di hadapan Allah. Ketika antrean dipotong karena uang, maka kesucian itu tercabik, dan ibadah berubah menjadi privilege.
Antrean Panjang, Harapan yang Digadaikan
Data resmi Kementerian Agama menunjukkan bahwa antrean haji reguler di Indonesia rata-rata mencapai 21 tahun. Di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan, antrean bahkan bisa tembus 35 tahun. Bayangkan seorang bapak mendaftar di usia 40 tahun, baru bisa berangkat ketika usianya lebih dari 70.