Mohon tunggu...
luqman hakim
luqman hakim Mohon Tunggu... Freelancer - Be Better

Be Better

Selanjutnya

Tutup

Hukum

RUU PKS Vs RUU Ketahanan Keluarga

8 Juni 2020   17:02 Diperbarui: 8 Juni 2020   17:04 706
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dan Rancangan Undang-undang Ketahan Keluarga merupakan salah satu berita paling disoroti belakangan ini. 

Kedua rancangan UU tersebut seolah saling berlomba untuk disahkan dengan berbagai latar belakang kepentingan. Berbicara kepentingan tentu saja tidak akan pernah ada habisnya. 

Terbaik adalah berusaha mawas diri, berpikir jernih, dan lapang dada untuk mendahulukan masalah urgensi dan mendasar termasuk dalam pengesahan RUU ini.

Lantas di antara kedua RUU tersebut manakah yang paling urgen untuk segera disahkan? Perlu diketahui bahwa keduanya merupakan rancangan yang akan menelurkan peraturan terbaik bagi  permasalahan di negeri ini terutama perempuan dan keluarga. Ada beberapa isu yang mendampingi RUU tersebut antara lain diaturnya masalah privat oleh negara dan hak asasi.

Masing-masing pendukung mengklaim paling penting disahkan bahkan sudah banyak aksi turun ke jalan menyuarakan pengesahan maupun penolakan (pro kontra). 

Kedua RUU sebenarnya sudah menjadi isu yang cukup lama terdengar, hanya saja tertutup oleh isu kesejahteraan rakyat dan perilaku dramatis elit penguasa yang tidak kunjung berakhir.

RUU PKS berisi mengenai kekerasan sosial beserta usaha mencegah hingga menindak dan pemulihan korban. Jika dibaca selintas maka tidak akan ditemukan hal mengganjal tentang aturan ini. Setelah dibaca kedua kali juga akan sampai berkesimpulan bahwa korban harus dilindungi dan pelaku harus dihukum. Lalu mengapa ada yang berkesimpulan bahwa ini akan melegalkan prostitusi, eksploitasi terhadap perempuan akan meningkat, dan sebagainya?

Ternyata memang mungkin sedikit luput dari pemahaman bahwa RUU tersebut merujuk pada mayoritas korban bergender perempuan, korban sebelumnya memang dalam kondisi baik, dan kondisi normal. Lantas masalahnya di mana? Masalahnya sulit untuk dijelaskan tetapi dengan contoh kasus maka akan lebih mudah untuk dipahami.

Contohnya adalah jika korban bekerja sebagai (maaf) wanita tunasusila (WTS). Ketika terdapat kasus kekerasan maka akan sangat tidak etis ketika melakukan pembelaan terhadap korban karena secara moral sosial pekerjaan tersebut sudah cacat moral. Jika tetap dilakukan pembelaan dan pemulihan kembali maka sama dengan melindungi dan membenarkan pekerjaannya sebelumnya. Walaupun pada dasarnya kita tetap harus membela yang namanya korban.

Contoh lain adalah kasus pada wanita bukan WTS maka akan dilihat penyebabnya. Salah satu isu yang hangat juga misalnya kekerasan disebabkan pakaian yang (maaf) terbuka. Pendukung mengklaim bahwa (berpakaian terbuka) sesuai keinginan dan bebas saja dilakukan, baik yang akan meningkatkan kemungkinan terjadinya kekerasan atau tidak. Padahal secara logika seharusnya menghindari penggunaan pakaian yang akan meningkatkan peluang terjadinya kekerasan.

Kedua contoh hanya dapat dipahami jika benar-benar membaca secara menyeluruh isi dari undang-undang tersebut serta mencoba menerapkan ke berbagai kasus yang mungkin terjadi sehingga mengerti untuk apa dan siapa UU tersebut ditujukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun