Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunaseptalisa5@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Efisiensi Anggaran dan Betapa Parianya Sektor Pendidikan Kita

16 Februari 2025   07:00 Diperbarui: 17 Februari 2025   08:41 851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sektor pendidikan, termasuk pendidikan tinggi menjadi yang terkena pemangkasan anggaran-photo by Emily Ranquist from pexels

Di masyarakat kita masih ada anggapan bahwa pendidikan tinggi tidak menjamin seseorang untuk menjadi lebih sukses dan kaya. Hanya karena segelintir orang bisa sukses dan kaya padahal bukan lulusan sarjana, lantas ada yang menjustifikasi bahwa pendidikan tidak penting. Bahkan pernah ada pejabat suatu kementerian yang bilang kalau pendidikan tinggi adalah kebutuhan tersier.

Di Indonesia pendidikan dianggap sebagai beban, bukan investasi jangka panjang. Itu sebabnya ia boleh dipangkas dengan dalih efisiensi. Tidak sedikit yang mengkritik kebijakan ini karena berpotensi makin menurunkan kualitas pendidikan kita.

Padahal dengan memberikan pendidikan berkualitas, kita bisa mendapatkan SDM unggul yang nantinya akan ikut mempengaruhi produktivitas dan kemajuan bangsa. Jika kualitas SDM semakin baik, partisipasi publik dalam pembangunan negara juga bisa lebih maksimal. Dengan demikian, mencapai visi Indonesia Emas 2045 bukanlah hal yang mustahil.

Sayangnya, dunia pendidikan di negeri ini diperlakukan seperti mainan yang bisa ditarik-ulur dan diutak-atik seenak perut sendiri, termasuk pada aspek pendanaannya yang merupakan mandatory spending. 

Sebenarnya alokasi anggaran untuk pendidikan dalam APBN selalu naik setiap tahun. Pada tahun 2025 ini alokasi anggaran pendidikan mencetak rekor sebagai yang tertinggi sepanjang sejarah, yaitu sebesar Rp 724,3 triliun (selengkapnya lihat grafik di bawah ini).

grafik kenaikan anggaran pendidikan Indonesia 2020-2025-sumber: Kementerian Keuangan diunduh dari Goodstat
grafik kenaikan anggaran pendidikan Indonesia 2020-2025-sumber: Kementerian Keuangan diunduh dari Goodstat

Pertanyaannya, mengapa dengan alokasi anggaran pendidikan yang naik terus setiap tahun, kualitas pendidikan kita masih jalan di tempat?

Menyunat Anggaran Pendidikan

Pasal 31 UUD 1945 Amandemen IV memberi mandat pada pemerintah untuk memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. 

Koordinator Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim sebagaimana dikutip dalam Antaranews.com menyatakan dengan anggaran wajib 20% APBN atau setara Rp 665 triliun saja pendidikan masih terasa mahal bagi masyarakat.

Ia juga menyebut bahwa dengan anggaran yang ada, masih terdapat 60,60% bangunan SD dengan kondisi rusak, lulusan SMK menjadi penyumbang terbesar angka pengangguran dan rata-rata lama sekolah (RLS) masih relatif rendah, yaitu 8,77 tahun atau hanya bersekolah setara SMP serta rendahnya gaji guru honorer.

Tahun ini, pendidikan menjadi salah satu sektor yang terdampak efisiensi anggaran lewat Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD TA 2025. Sejumlah anggaran dalam pos belanja tiga kementerian yang merupakan pecahan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dipangkas cukup besar. 

Beberapa rincian pemangkasan anggaran dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

tabel rincian pos belanja Kemendiktisaintek yang dipangkas di tahun 2025-sumber: Kemendiktisaintek, Raker Komisi X DPR RI diunduh dari Goodstat
tabel rincian pos belanja Kemendiktisaintek yang dipangkas di tahun 2025-sumber: Kemendiktisaintek, Raker Komisi X DPR RI diunduh dari Goodstat


Dampak Pemangkasan Anggaran di Sektor Pendidikan

Dari data rincian efisiensi anggaran Kemendiktisaintek di atas, pendanaan untuk perguruan tinggi negeri (PTN) termasuk yang mengalami pemangkasan terbesar dengan persentase mencapai 50% dari anggaran awal. Hal ini tentu saja memunculkan kekhawatiran bahwa biaya kuliah bakal lebih mahal karena PTN perlu mencari tambahan dana untuk pengembangan.

Masalahnya, sebelum ada rencana efisiensi anggaran di sektor pendidikan saja, biaya kuliah dari tahun ke tahun sudah mahal. Inflasi biaya pendidikan di Indonesia tergolong tinggi. Lembaga Jasa Keuangan Jiwasraya menyebut rerata kenaikan inflasi sektor pendidikan mencapai 15%.

Ambil contoh UGM yang merupakan salah satu PTN terbaik di Tanah Air. Perkiraan biaya kuliah di UGM tahun 2018 adalah Rp 26 juta. Tahun 2023 jumlahnya naik jadi Rp 60,13 juta dan di tahun 2028 mendatang biayanya diperkirakan naik jadi Rp 120,96 juta.

Ini baru biaya kuliah, belum biaya hidup seperti biaya kost, makan-minum, transportasi, dan kebutuhan penunjang kuliah lainnya.

Mahasiswa miskin sebenarnya bisa terselamatkan dengan adanya program Beasiswa KIP Kuliah. Lalu, dengan kebijakan efisiensi dari yang awalnya Rp 14,6 triliun menjadi tinggal Rp 1,31 triliun, bagaimana nasib mahasiswa miskin yang menggantungkan harapannya pada Beasiswa KIP-K agar bisa kuliah? Bagaimana jika mereka mahasiswa rantau yang selain harus memikirkan biaya kuliah juga harus memikirkan isi perut mereka hari ini?

Jika mereka mahasiswa rantau, pikirkan juga di kota mana mereka menempuh pendidikan saat ini. Sebab, beda kota beda pula standar biaya hidupnya.

Kekhawatiran juga melanda para awardee (penerima) Beasiswa Pemerintah Indonesia (BPI), dimana pagu awalnya sebesar Rp 194,7 miliar menjadi hanya Rp 19,47 miliar imbas efisiensi.

Mahasiswa Indonesia di luar negeri terancam terlantar. Kalau mereka adalah dosen yang sedang kuliah S3, mengandalkan gaji dosen untuk membiayai kebutuhan hidup di negara orang yang rata-rata UMR-nya bisa lima sampai sepuluh kali lipat rata-rata UMR di Indonesia tentu sangat berat.

Jangan pula lupa bagaimana belakangan ini gelombang protes terkait tunjangan kinerja (tukin) dosen ASN di bawah Kemendiktisaintek mencuat. Sudah gaji kecil, tukin tidak dibayarkan selama lima tahun, dan mereka masih dituntut dengan tanggung jawab moral yang besar untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bayangkan kalau tukin juga ikut disunat.

Mau Dibawa Kemana Pendidikan Kita?

Ironis rasanya melihat bagaimana sistem pendidikan di Indonesia dijalankan. Kita bermimpi untuk menjadi negara maju, ingin SDM Indonesia berkualitas, tapi kita seperti bingung mengenai arah pendidikan kita.

Ganti menteri, ganti kurikulum. Ganti nama, ganti pemain tapi lupa memperbaiki sistem bobrok yang mengakar bertahun-tahun.

Tanpa adanya efisiensi anggaran sekalipun, sistem pendidikan kita sudah cukup menyedihkan. Biaya pendidikan mahal, ketidaksetaraan akses dan kualitas pendidikan, tingginya angka putus sekolah, kesejahteraan guru dan dosen yang minim, beban administrasi guru dan dosen yang lebih banyak ketimbang jam mengajar, adalah pekerjaan rumah yang sampai sekarang belum kelar-kelar. 

Membangun sistem pendidikan yang solid bukanlah pekerjaan sehari semalam dan bukan kerja satu orang. Kalau mau sistem pendidikan kita bagus, dukungan harus maksimal, baik itu di tingkat dasar, menengah sampai pendidikan tinggi. Entah itu dari segi pendanaan, kebijakan, kurikulum, infrastruktur pendidikan, kompetensi tenaga pendidik, dan sebagainya.

Meski bukan faktor satu-satunya, pemangkasan anggaran sektor pendidikan berpotensi jadi ancaman serius bagi pengembangan kualitas pendidikan dan SDM Indonesia ke depannya.

Belum lagi belakangan ramai soal #KaburAjaDulu sebagai ekspresi kekecewaan anak-anak muda Indonesia terhadap kondisi sosial, ekonomi dan politik dalam negeri yang sedang tidak baik-baik aja.

Bayangkan potensi kerugian negara ini dalam jangka panjang akibat SDM muda yang berkualitas justru lebih memilih berkarya di luar negeri akibat tidak pernah diperhatikan di negaranya sendiri. Sementara di dalam negeri, pemerataan kualitas pendidikan dan SDM terancam gagal karena pejabatnya tidak mampu melaksanakan amanat konstitusi.

Dengan segala kekacauan ini, masih bermimpi Indonesia Emas 2045? 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun