Di masyarakat kita masih ada anggapan bahwa pendidikan tinggi tidak menjamin seseorang untuk menjadi lebih sukses dan kaya. Hanya karena segelintir orang bisa sukses dan kaya padahal bukan lulusan sarjana, lantas ada yang menjustifikasi bahwa pendidikan tidak penting. Bahkan pernah ada pejabat suatu kementerian yang bilang kalau pendidikan tinggi adalah kebutuhan tersier.
Di Indonesia pendidikan dianggap sebagai beban, bukan investasi jangka panjang. Itu sebabnya ia boleh dipangkas dengan dalih efisiensi. Tidak sedikit yang mengkritik kebijakan ini karena berpotensi makin menurunkan kualitas pendidikan kita.
Padahal dengan memberikan pendidikan berkualitas, kita bisa mendapatkan SDM unggul yang nantinya akan ikut mempengaruhi produktivitas dan kemajuan bangsa. Jika kualitas SDM semakin baik, partisipasi publik dalam pembangunan negara juga bisa lebih maksimal. Dengan demikian, mencapai visi Indonesia Emas 2045 bukanlah hal yang mustahil.
Sayangnya, dunia pendidikan di negeri ini diperlakukan seperti mainan yang bisa ditarik-ulur dan diutak-atik seenak perut sendiri, termasuk pada aspek pendanaannya yang merupakan mandatory spending.Â
Sebenarnya alokasi anggaran untuk pendidikan dalam APBN selalu naik setiap tahun. Pada tahun 2025 ini alokasi anggaran pendidikan mencetak rekor sebagai yang tertinggi sepanjang sejarah, yaitu sebesar Rp 724,3 triliun (selengkapnya lihat grafik di bawah ini).
Pertanyaannya, mengapa dengan alokasi anggaran pendidikan yang naik terus setiap tahun, kualitas pendidikan kita masih jalan di tempat?
Menyunat Anggaran Pendidikan
Pasal 31 UUD 1945 Amandemen IV memberi mandat pada pemerintah untuk memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.Â
Koordinator Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim sebagaimana dikutip dalam Antaranews.com menyatakan dengan anggaran wajib 20% APBN atau setara Rp 665 triliun saja pendidikan masih terasa mahal bagi masyarakat.