Korban kekerasan seksual seringkali dianggap sebagai aib keluarga dan masyarakat. Mereka dianggap "nakal", tidak bermoral bahkan sampah masyarakat. Oleh karena itu, korban akhirnya dipaksa untuk menikah dengan pelaku untuk menutupi aib.
Bayangkan, korban dipaksa menikah dengan seseorang yang telah menghancurkan fisik, psikis, dan masa depannya.
Hari ketika peristiwa itu terjadi adalah bencana. Namun menikah dengan pelaku adalah neraka dunia baginya.
Sementara di ranah akademik dan profesional, korban kejahatan seksual juga kerap diminta untuk berdamai dan menyelesaikan kasus secara kekeluargaan demi menjaga nama baik institusi. Mereka yang melapor tidak jarang akan diteror, diancam, dirisak, dan dianggap cari perhatian
Keempat, penafsiran dalil agama yang kaku dan tekstual
Dalam agama Islam, ada ayat-ayat Al Quran dan hadis yang mengatur tentang hubungan suami-istri, termasuk urusan aktivitas seksual. Sayangnya, ada oknum-oknum yang menafsirkannya sembarangan dan hanya mengambil yang enaknya saja.
Contohnya, ayat 223 Surat Al-Baqarah yang berbunyi "Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dan dengan cara yang kamu sukai..."Â (selengkapnya lihat di Al-Quran masing-masing atau cari lewat mesin pencari).
Ayat tersebut kalau dimaknai secara serampangan dapat mendorong terjadinya pemerkosaan dalam pernikahan (marital rape). Padahal aktivitas seksual antara suami-istri itu ada etikanya dan diatur juga dalam agama.
Ayat 34 Surat An-Nisaa yang berbunyi "Laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan...", jika tidak dimaknai dengan benar akan menjadi legitimasi untuk berbuat semena-mena terhadap perempuan. Dan ayat ini pula yang---apabila hanya dimaknai secara tekstual---dapat dijadikan senjata untuk melanggengkan budaya patriarki.
Kelima, lemahnya penegakan hukum atas kejahatan seksual
Novia Widyasari, MS (pegawai KPI Pusat), Baiq Nuril hanyalah segelintir contoh korban kekerasan seksual yang harus berhadapan dengan bobroknya penegakan hukum di negeri Wakanda.
Itu yang terekspos. Bagaimana dengan yang tidak? Apakah korban mendapatkan keadilan?
Ini pula yang kadang membuat saya su'udzon dengan para penolak RUU PKS maupun Permendikbudristek Nomor 30 tahun 2021.