Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Beauty Artikel Utama FEATURED

Thrifting, Antara Tren dan Kepedulian terhadap Isu Lingkungan

5 Desember 2020   10:47 Diperbarui: 11 Mei 2022   23:42 5791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi orang berbelanja pakaian bekas-dressember.org

Pada tahun 1970-an, di Amerika Serikat terdapat thrift shop pertama yang bernama Buffalo Exchange. Buffalo Exchange tercatat memiliki 49 gerai di berbagai cabang di Amerika Serikat. Disini pengunjung dapat melakukan berbagai transaksi, seperti membeli, menukar atau menjual barang bekas.

Thrifting style juga banyak digandrungi oleh anak-anak muda pada tahun 1990-an, dimana Kurt Cobain, musisi dan pentolan grup band Nirvana, menjadi role model fesyen ini. Gaya khasnya dengan jeans bolong-bolong (ripped jeans), flannel shirt dan layering yang cukup banyak, membuat banyak anak muda mengikuti gaya berpakaiannya. Karena pakaian-pakaian seperti itu tidak ditemukan di retail shop, akhirnya mereka membelinya di thrift shop. 

Industri Tekstil dan Pencemaran Lingkungan

ilustrasi pencemaran air oleh limbah tekstil-megapolitan.kompas.com
ilustrasi pencemaran air oleh limbah tekstil-megapolitan.kompas.com

Pakaian merupakan salah satu dari kebutuhan primer selain makanan (pangan) dan rumah (papan) sehingga textile and clothing waste tidak dapat dihindarkan. Industri tersebut memang memiliki serapan tenaga kerja yang lebih besar dibandingkan dengan sektor industri lainnya. Tapi di sisi lain, industri ini juga banyak menyumbang sampah atau limbah yang mencemari lingkungan. 

Riset dari Ellen MacArthur Foundation yang berjudul A New Textiles Economy : Redesigning fashion's future,  menunjukkan bahwa setiap tahun industri tekstil menghasilkan 1,2 miliar ton emisi gas rumah kaca. Jumlah ini lebih besar dibanding gabungan semua penerbangan dan pelayaran internasional. 

Industri tekstil sebagian besar masih bergantung pada sumber daya tidak terbarukan (non- renewable resources), seperti minyak untuk memproduksi serat sintetis, pupuk kimia untuk menyuburkan tanaman kapas dan bahan-bahan kimia yang digunakan dalam proses pewarnaan. Jika ditotal jumlahnya mencapai 98 juta ton per tahun. 

Limbah produksi tekstil yang mengandung berbagai macam bahan kimia ini merupakan penyumbang polutan yang cukup besar bagi perairan, seperti sungai dan laut. Tercatat sebesar 20% pencemaran laut berasal dari cairan limbah produksi tekstil, seperti mikrofiber. 

Di dalam negeri, industri tekstil juga punya cerita kelam. Sungai Citarum, sungai terpanjang dan terbesar di Jawa Barat yang dulu pernah menjadi titik awal peradaban Sunda, sejak tahun 2007 justru menjadi sungai terkotor di dunia. 

Salah satu penyebabnya tidak lain adalah pabrik-pabrik yang gemar membuang limbahnya ke sungai. Mengutip dari artikel yang dirilis oleh CNBC Indonesia, sebanyak 349.000 ribu ton limbah cair indutri dibuang ke Sungai Citarum setiap harinya. Limbah tersebut berasal dari 1.900 pabrik yang beroperasi di sepanjang DAS Citarum dan hanya 10% dari pabrik tersebut yang memiliki IPAL memadai. 

Memang, pabrik-pabrik yang tidak menggunakan IPAL dapat menekan biaya operasional sebanyak Rp 200 juta-Rp 300 juta per bulan. Tapi, haruskah kita mengorbankan kelestarian lingkungan hanya demi keuntungan materi semata? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Beauty Selengkapnya
Lihat Beauty Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun