Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Beauty Artikel Utama FEATURED

Thrifting, Antara Tren dan Kepedulian terhadap Isu Lingkungan

5 Desember 2020   10:47 Diperbarui: 11 Mei 2022   23:42 5777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi orang berbelanja pakaian bekas-dressember.org

Ingin tampil gaya namun uang pas-pasan? Daripada harus berutang untuk membeli pakaian mahal demi tampil gaya, thrifting atau membeli pakaian bekas bisa jadi alternatif yang menarik untuk dicoba. Bahkan sekarang ini thrifting telah menjadi tren di kalangan anak muda. 

Selain menjadi tren, thrifting ditengarai sebagai salah satu cara menyelematkan lingkungan dari polusi akibat limbah pabrik tekstil dan sampah pakaian bekas. Di masa pandemi seperti saat ini, thrifting juga dapat dilakukan secara daring. Beberapa online shop mulai menawarkan pakaian bekas dengan berbagai model, jenis dan merek. 

Kita pun bisa menjual pakaian-pakaian yang sudah tidak terpakai atau tidak muat lagi di badan. Selain membuat lemari terlihat tidak sumpek, kita juga bisa memperoleh uang tambahan dari menjual pakaian bekas. 

Lalu, kapan sebenarnya tren ini mulai booming? Bagaimana thrifting berpengaruh terhadap kelestarian lingkungan hidup?

Asal-usul Thrifting

Thrifting (thrift) berasal dari kata thrive yang berarti berkembang atau maju. Sementara thrifty diartikan sebagai cara menggunakan uang dan barang lainnya secara baik dan efisien. Dari sinilah, thrifting dapat dimaksudkan sebagai kegiatan membeli atau berburu barang bekas. 

Sejarah dan Perkembangan Thrifting

Thrifting ternyata bukan hanya tren yang baru berlangsung 1-2 tahun belakangan. Kegiatan ini bahkan sudah ada sejak zaman revolusi industri. Tepatnya pada akhir abad ke-19. 

Pada masa itu mulai dikenalkan mass production clothing (produksi massal pakaian) sehingga harga pakaian sangat murah. Oleh karena itu, masyarakat menganggap bahwa pakaian adalah barang sekali pakai lalu dibuang (disposable). 

Seiring dengan pertumbuhan populasi perkotaan, banyak barang bekas yang dibuang dan akhirnya menumpuk. Melihat fenomena itu, komunitas Gereja Protestan, Salvation Army memutuskan untuk mengumpulkan barang-barang yang tersebut dan dibagikan kepada masyarakat kurang mampu. 

Tren ini berlanjut hingga tahun 1920-an ketika Amerika Serikat mengalami krisis besar-besaran yang menyebabkan banyak orang menganggur. Akibatnya mereka tidak mampu lagi membeli pakaian baru. Kemudian mereka mencari alternatif dengan belanja baju di thrift shop (toko barang bekas). 

Pada tahun 1970-an, di Amerika Serikat terdapat thrift shop pertama yang bernama Buffalo Exchange. Buffalo Exchange tercatat memiliki 49 gerai di berbagai cabang di Amerika Serikat. Disini pengunjung dapat melakukan berbagai transaksi, seperti membeli, menukar atau menjual barang bekas.

Thrifting style juga banyak digandrungi oleh anak-anak muda pada tahun 1990-an, dimana Kurt Cobain, musisi dan pentolan grup band Nirvana, menjadi role model fesyen ini. Gaya khasnya dengan jeans bolong-bolong (ripped jeans), flannel shirt dan layering yang cukup banyak, membuat banyak anak muda mengikuti gaya berpakaiannya. Karena pakaian-pakaian seperti itu tidak ditemukan di retail shop, akhirnya mereka membelinya di thrift shop. 

Industri Tekstil dan Pencemaran Lingkungan

ilustrasi pencemaran air oleh limbah tekstil-megapolitan.kompas.com
ilustrasi pencemaran air oleh limbah tekstil-megapolitan.kompas.com

Pakaian merupakan salah satu dari kebutuhan primer selain makanan (pangan) dan rumah (papan) sehingga textile and clothing waste tidak dapat dihindarkan. Industri tersebut memang memiliki serapan tenaga kerja yang lebih besar dibandingkan dengan sektor industri lainnya. Tapi di sisi lain, industri ini juga banyak menyumbang sampah atau limbah yang mencemari lingkungan. 

Riset dari Ellen MacArthur Foundation yang berjudul A New Textiles Economy : Redesigning fashion's future,  menunjukkan bahwa setiap tahun industri tekstil menghasilkan 1,2 miliar ton emisi gas rumah kaca. Jumlah ini lebih besar dibanding gabungan semua penerbangan dan pelayaran internasional. 

Industri tekstil sebagian besar masih bergantung pada sumber daya tidak terbarukan (non- renewable resources), seperti minyak untuk memproduksi serat sintetis, pupuk kimia untuk menyuburkan tanaman kapas dan bahan-bahan kimia yang digunakan dalam proses pewarnaan. Jika ditotal jumlahnya mencapai 98 juta ton per tahun. 

Limbah produksi tekstil yang mengandung berbagai macam bahan kimia ini merupakan penyumbang polutan yang cukup besar bagi perairan, seperti sungai dan laut. Tercatat sebesar 20% pencemaran laut berasal dari cairan limbah produksi tekstil, seperti mikrofiber. 

Di dalam negeri, industri tekstil juga punya cerita kelam. Sungai Citarum, sungai terpanjang dan terbesar di Jawa Barat yang dulu pernah menjadi titik awal peradaban Sunda, sejak tahun 2007 justru menjadi sungai terkotor di dunia. 

Salah satu penyebabnya tidak lain adalah pabrik-pabrik yang gemar membuang limbahnya ke sungai. Mengutip dari artikel yang dirilis oleh CNBC Indonesia, sebanyak 349.000 ribu ton limbah cair indutri dibuang ke Sungai Citarum setiap harinya. Limbah tersebut berasal dari 1.900 pabrik yang beroperasi di sepanjang DAS Citarum dan hanya 10% dari pabrik tersebut yang memiliki IPAL memadai. 

Memang, pabrik-pabrik yang tidak menggunakan IPAL dapat menekan biaya operasional sebanyak Rp 200 juta-Rp 300 juta per bulan. Tapi, haruskah kita mengorbankan kelestarian lingkungan hanya demi keuntungan materi semata? 

Bagaimana Thrifting Dapat Membantu Menjaga Kelestarian Lingkungan? 

ilustrasi menjaga bumi-freepik.com
ilustrasi menjaga bumi-freepik.com

1. Mengurangi Sampah Pakaian di Tempat Pembuangan 

Industri fast fashion dianggap turut andil dalam memberikan dampak negatif bagi lingkungan. Apa itu industri fast fashion? 

Fast fashion adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan desain pakaian yang bergerak cepat dari catwalk ke toko-toko untuk memenuhi tren terbaru. Koleksinya sering didasarkan pada desain-desain pakaian yang ditampilkan dalam pagelaran Fashion Week. Fast fashion ini mendorong orang lebih konsumtif demi mengejar tren fesyen terbaru agar tidak dianggap ketinggalan zaman. 

Akhirnya, pakaian-pakaian lama banyak yang terbuang. Padahal bisa saja pakaian-pakaian tersebut masih layak dipakai. Sementara penelitian menunjukkan sekitar 60% pakaian di seluruh dunia masih menggunakan bahan sintetis yang sulit terurai dalam proses produksinya. 

Dengan membeli pakaian bekas setidaknya kita telah melakukan reuse atau penggunaan kembali sehingga membantu mengurangi sampah pakaian. 

2. Mengurangi Penggunaan Sumber Daya 

Pembuatan pakaian baru membutuhkan sumber daya yang lebih besar. Bayangkan, untuk membuat 1 celana jeans saja sudah menghabiskan sekitar 1.800 galon air. Belum dengan jenis pakaian lainnya, seperti rok, kaos dan sebagian besar pakaian lainnya. 

Bahkan secara global, industri tekstil (termasuk penanaman kapas) menghabiskan sekitar 93 miliar meter kubik air setiap tahunnya. Hal ini rupanya menimbulkan masalah di beberapa wilayah yang kesulitan air bersih. 

Oleh karena itu, thrifting dapat membantu mengurangi penggunaan sumber daya, termasuk air dan energi lainnya sehingga lebih hemat. 

3. Mengurangi Polusi Air dan Tanah

Sekitar 90% kapas yang ditanam untuk industri tekstil adalah hasil rekayasa genetika yang sangat bergantung pada penggunaan pestisida. Bahan kimia yang terkandung dalam pestisida ini dapat meracuni air tanah dan menyebabkan polusi pada sungai, danau dan laut. 

Apabila perairan tercemar dan polutan tersebut sampai masuk dalam tubuh ikan, lalu ikan tersebut dikonsumsi manusia maka bisa berakibat buruk pada kesehatan, seperti meningkatkan risiko diabetes, kanker, kemandulan dan sebagainya. 

Penggunaan pestisida dan pupuk nonorganik juga dapat meningkatkan keasaman tanah yang menyebabkan penurunan ketersediaan unsur hara, seperti nitrogen (N), kalium (K) dan fosfor (P) sehingga menghambat pertumbuhan tanaman. Selain itu, tanah yang terlalu asam akan menyebabkan denitrifikasi (proses reduksi nitrat menjadi gas nitrogen) sehingga terjadi pelepasan gas dinitrogen oksida (N2O) ke udara. Gas ini adalah salah satu dari gas-gas penyebab terjadinya efek rumah kaca selain karbondioksida (CO2), metana (CH4), Chloro Fluoro Carbon (CFC) dan sebagainya. 

Dan ternyata produksi kain sintetis juga melepaskan gas dinitrogen oksida yang 310 kali lipat lebih kuat dibandingkan karbondioksida. 

Thrifting dan Sustainable Clothing

Dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan, sesuatu yang sustainable atau berkelanjutan menjadi hal penting yang mulai banyak diperhatikan. Salah satunya adalah sustainable clothing yang mana mengacu pada kain atau baju yang terbuat dari bahan-bahan ramah lingkungan, seperti tanaman serat yang ditanam secara berkelanjutan. 

Bahan-bahan ramah lingkungan tersebut, antara lain linen, kapas (organik), wool (organik), hemp atau rami dan sutera. Namun pakaian yang terbuat dari bahan-bahan tersebut cenderung lebih mahal sehingga kita bisa membeli secukupnya saja. 

Jika hal ini dirasa masih sulit dilakukan, kita dapat menumbuhkan kesadaran menjaga lingkungan misalnya dengan membeli pakaian bekas (thrifting) dan menyumbangkan pakaian-pakaian bekas layak pakai kepada yang membutuhkan atau menjualnya. 

Referensi : 

satu, dua, tiga, empat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Beauty Selengkapnya
Lihat Beauty Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun