Tahun 2016, saya menjalani KKN di sebuah desa kecil di Boyolali, tepat di lereng Merapi. Kami tinggal di rumah kosong milik seorang pemuda desa. Awalnya biasa saja, sampai kami sadar: rumah itu tidak sepenuhnya milik kami. Atau manusia.Â
Tahun 2016, saya menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN) di sebuah desa kecil di Boyolali, Jawa Tengah. Letaknya tidak jauh dari jalur pendakian Gunung Merapi. Udara di sana sejuk, tenang, dan hampir setiap hari diselimuti kabut, pagi, siang, bahkan malam hari.
Kabut itu awalnya hanya terasa dingin, tapi lama-lama menyisakan rasa waswas. Seolah ada sesuatu yang disembunyikannya.Â
Kami tinggal di sebuah rumah kosong yang letaknya satu halaman dengan masjid. Rumah itu sebenarnya tidak benar-benar kosong. Pemiliknya adalah seorang pemuda desa yang bekerja sebagai sopir truk antar kota. Karena ia jarang pulang, kepala desa mengizinkan kami menempatinya selama masa KKN.
Kelompok kami terdiri dari tujuh orang: saya, Lisa (Ilmu Komunikasi); Windi (FIAI); Adi dan Hendy (Teknik Sipil); Andi dan Rita (Ekonomi); serta Tyo (Farmasi). Semua seangkatan, kecuali Hendy dan Tyo yang kakak tingkat. Hendy menjabat sebagai ketua kelompok. Ia pribadi yang kalem dan tidak banyak bicara, tapi selalu sigap mengambil keputusan.
Di minggu pertama, suasana terasa sangat bersahabat. Kami mulai terbiasa dengan aktivitas warga, program kerja, dan suasana masjid. Tapi minggu kedua mulai terasa aneh. Dan semua bermula dari hal-hal kecil.
Andi, teman kami dari Fakultas Ekonomi, suatu malam melihat sosok kakek tua berjalan membungkuk di samping rumah. Ia membawa tongkat dan melangkah pelan. Tapi saat diperiksa, tidak ada siapa-siapa. Warga juga bilang tak ada kakek seusia itu di sekitar rumah.
Hendy mendadak menjadi lebih protektif. Ia meminta kami para perempuan untuk tidak keluar rumah setelah Magrib. Ia juga memindahkan lemari besar untuk menutup pintu belakang. Ketika kami tanya, ia hanya menjawab, "Biar aman."
Ada sesuatu yang tidak kami ketahui, dan Hendy memilih menyimpannya sendiri.Â
Setiap malam Selasa, warga mengadakan pengajian rutin. Lelaki-lelaki duduk di masjid, membaca surah Yasin bersama. Kami, para perempuan, menyiapkan suguhan, teh, kopi, dan jajanan pasar. Selain itu, ada juga pengajian khusus ibu-ibu di malam yang sama, dengan agenda membaca Surah Yasin.
Yang aneh, bacaan Yasin itu selalu berhenti di tengah. Tidak pernah selesai. Setiap minggu. Seolah ada yang menghalangi. Kami pernah menanyakan hal itu kepada salah satu ibu, tapi jawabannya hanya senyum pelan, "Sudah begitu dari dulu."
Malam itu, malam Selasa ketiga kami di desa, menjadi malam yang tak akan saya lupakan. Saat pengajian berlangsung, kami perempuan sedang menata hidangan. Tiba-tiba Hendy datang tergesa dan menyuruh kami semua masuk ke kamar. "Jangan tanya dulu. Masuk aja. Sekarang," katanya pelan tapi tegas.Â
Kami nurut. Beberapa menit kemudian, kami mendengar suara-suara masuk ke ruang tamu. Salah satunya adalah pria yang disebut-sebut sebagai ustaz. Ia mencari kami. Hendy menjawab kami sedang istirahat. Suasana menjadi tegang.
Tiba-tiba, Tyo masuk ke kamar mengambil dompetnya. Wajahnya pucat. Ia hanya berkata, "Nanti aku jelaskan," lalu keluar.
Setelah semua tamu pulang, Hendy menjelaskan. Ia bilang pria itu bukan ustaz biasa. Aura dan sikapnya aneh. Ia tahu tentang Tyo yang ternyata membawa benda peninggalan dari keluarganya di Sumatera, benda itu katanya memiliki "penjaga". Dan pria itu ingin mendekatinya, entah dengan tujuan apa.
Pria itu juga mengatakan, rumah yang kami tempati seharusnya tidak dihuni. "Anehnya, mereka tidak diganggu," katanya. Hendy akhirnya mengaku, sejak awal ia tahu rumah itu angker. Itulah sebabnya ia melarang kami ke belakang. Konon, pernah ada ular besar muncul di salah satu ruangan belakang. Juga, sosok pocong yang sering terlihat di pohon pisang dekat kamar mandi.
Windi juga pernah melihat nenek tersenyum padanya dari dapur. Kami kira hanya warga. Tapi saat seorang tetangga memperlihatkan foto almarhumah pemilik rumah, Windi langsung gemetar. "Itu orangnya," katanya.
Keesokan harinya, keluarga nenek itu datang. Mereka membawa sesajen dan meletakkannya di sudut rumah. Warga bilang, itu tradisi tahunan setiap hari lahir sang almarhumah. Kami hanya bisa diam.
Beberapa hari kemudian, saya sedang duduk di ruang depan ketika Hendy menghampiri sambil tersenyum tipis.
"Lis, kamu kenapa bawa banyak orang ke sini? Lain kali jangan bawa yang aneh-aneh ya..."
Saya tertawa kecil, mengira dia bercanda. Tapi dalam hatiku, kalimat itu menggema. "Orang?" Siapa yang dia maksud? Saya sendirian waktu itu.
Saya belajar banyak dari KKN ini, bukan hanya soal pengabdian dan program kerja, tapi juga tentang bagaimana kita harus hormat pada tempat yang kita tinggali. Ada ruang-ruang yang bukan milik kita. Ada waktu-waktu yang bukan untuk kita isi seenaknya.
Kadang, kita memang tidak sendiri. Tapi bukan berarti kita harus tahu siapa yang bersama kita. Karena, mungkin justru mereka tak ingin terlihat.
 Beberapa hari setelah kejadian itu, suasana posko berubah. Kami tetap menjalankan kegiatan seperti biasa, mengajar di sekolah, membantu posyandu, ikut gotong-royong, tapi setiap kali malam tiba, suasana rumah berubah mencekam. Lampu di dapur kadang tiba-tiba padam. Atau bunyi langkah pelan di atap saat tengah malam, yang kami pikir tikus, tapi tak pernah ada suara lari atau jejak lainnya.Â
Rita pernah bercerita pelan saat kami menyiapkan sarapan.Â
"Semalam aku kayak denger suara perempuan nangis dari arah kamar mandi..."Â
Aku dan Windy  hanya diam. Tak ada yang menanggapi, tapi tak juga ada yang menyangkal.
 Suatu sore, kami kedatangan tamu tak terduga, seorang ibu paruh baya yang ternyata dulu pernah tinggal di rumah itu sebagai pembantu almarhumah. Ia datang membawa beberapa pisang rebus dan duduk lama di teras. Percakapannya dengan Hendy membuat kami ikut merapat.Â
"Dulu itu rumah disakralkan, Mas. Banyak yang nggak kuat tinggal di sini. Tapi nenek itu orangnya halus. Nggak ganggu kalau kita sopan. Tapi jangan pernah buka dapur bagian kiri. Di situ tempat terakhir dia sakit keras."Â
Kami langsung menoleh ke arah dapur yang dimaksud. Ternyata itu bagian kecil di balik pintu yang selama ini tertutup rak bumbu. Hendy tahu. Ia memang sengaja menyuruh kami tidak ke sana.Â
Pada malam-malam berikutnya, beberapa kejadian makin sering muncul. Seperti saat Windi lupa menutup jendela kamar. Di pagi hari, jendela itu terbuka lebar dan tirai melambai pelan meski angin tak terasa. Di luar jendela, ada bekas tapak tanah di lantai semen. Tapi anehnya, hanya satu pasang tapak, tanpa jejak masuk atau keluar.
Tyo juga sempat sakit selama tiga hari. Demam tinggi. Saat sadar, ia bilang seperti bermimpi terus-menerus. Tapi yang ia ingat hanya sosok pria tua duduk di kursi tamu sambil membacakan doa dalam bahasa yang tidak ia mengerti.
"Kayak bukan bahasa Arab, tapi aku ngerti maknanya: katanya, aku tamu. Tapi tidak semua tamu disambut baik."Â
Kami semakin diam. Kegiatan berjalan seperti biasa, tapi malam hari kami memilih cepat tidur, lampu menyala terang, dan selalu mengunci semua pintu. Sekalipun udara dingin menusuk, tak satu pun dari kami berani membuka jendela.Â
Hingga akhirnya, masa KKN kami selesai. Kami pamit pada warga, termasuk keluarga pemilik rumah yang datang ke desa beberapa hari sebelumnya. Saat hendak pergi, ibu dari pemilik rumah sempat memeluk saya.
"Terima kasih sudah menjaga rumah kami dengan sopan. Kadang rumah juga merasa kesepian..."
Kata-kata itu tak pernah saya lupa. Sampai kini.
Pengalaman KKN ini membuat saya menyadari bahwa tidak semua tempat bisa kita anggap kosong hanya karena tak terlihat penghuninya. Ada ruang yang menyimpan jejak. Ada waktu-waktu yang tak sembarangan boleh diisi. Dan ada energi yang hanya bisa kita rasakan jika hati kita cukup terbuka.
Kejadian-kejadian itu bukan membuat saya takut. Tapi membuat saya lebih hati-hati, lebih menghargai, dan lebih banyak diam saat berada di tempat asing.
Kadang, kita memang tak sendiri. Tapi tak semua yang ada ingin dikenal. Sebagian hanya ingin tetap tinggal, diam, dan dilupakan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI