"Baik, Nek. Aku sudah tau konsekuensinya sejak hari aku lahir, aku akan lahir dengan perempuan yang kalau suka mengancam akan menelan orang bulat-bulat," Galih terkekeh di tengah hujan. Aku mendorongnya sebal. Hingga bajunya basah terkena hujan yang deras.
"Tumben kau mau ikut Nenek menolong orang melahirkan, Han?"
"Terpaksa," jawabku ketus terus mempercepat langkah
Sampai di rumah itu suasananya sudah ramai seperti dugaanku, teriakaan yang akan mengganggu kedamaian telinga akan segera menyambut. Nenek memberi perintah untuk menyiapkan ember air bersih. Juga menyeduh kopi dan teh dengan bunga dua warna yang diletakkan di meja kecil sudut ruangan. Itu seperti ritual yang akan nenek lakukan, sebelum membantu orang bersalin. Menyiapkan persembahan sederhana untuk nenek moyang.
Wanita yang tengah kesakitan diatas dipan itu, sedikit tak banyak berteriak seperti sebelum Nenek tiba. Aku berdiri mematung di depan pintu, Galih menunggu di luar bersama orang laki-laki lainnya.
'Harusnya Nenek tak mengajakku, toh aku di sini hanya menonton saja,' keluhku dalah hati, berniat mengambil langkah menyusul Galih di depan.
"Kau, Hana kemari. Bantu Nenek," perintah nenek.
Aku menelan ludah, nenek sudah macam si mata empat yang bisa tau apa yang terjadi di belakangnya, atau lebih hebat lagi bisa mendengar apa yang dikatakan hatiku. Aku melangkah mendekat, jika ibu itu berteriak lagi dan lagi tamat sudah riwayat gendang telingaku.
Nenek memberi intruksi, ibu itu harus mengejan saat nenek mendorong perutnya bagian atas.
"Ambil nafas yang cukup, mengejan sekuat tenaga. Jauhkan fikiran negatif. "
Ketika ibu itu mulai mengejan, aku menatapnya jerih. Baru kali ini aku menyaksikan orang yang kesakitan dari jarak sedekat ini. Keringatku bahkan lebih deras dari punya Nenek, yang santai saja sambil mulutnya mengunyah sirih.