Galih amat menyukai Ustad salim, bukan suka yang seperti kalian bayangkan. Suka dalam artian bahwa ustad salim adalah orang yang baik, ilmu agamanya mumpuni, berwibawa dan jangan tinggalkan sifat super duper sholehnya. Sama seperti penduduk lainnya, tapi setelah kejadian itu, semua berubah 360 derajat. Ustadz Salim dibenci, dikucilkan bahkan ia tak pernah lagi terlihat keluar rumah beberapa hari terakhir. Mungkin beliau malu, nama baiknya tercoreng. Tapi jelas itu ulahnya sendiri, siapa suruh selingkuh.
"Jadi siapa tokoh panutanmu sekarang, Lih?" aku bertanya, Â dengan kemungkinan jawaban Galih akan berubah soal panutannya.
"Ibu, juragan Broto, Nenekmu, bang Maman, Bibi Elin, Ustad salim dan..."
"Eh, kau masih menyebutkan Ustadz Salim dalam daftar panjangmu itu, ck ck. Kau mau jadikan tukang selingkuh itu panutanmu, heh?"
Galih menggaruk rambutnya, apa salahnya dengan menyebutkan nama ustad salim, beliau baik.
"Ya sudahlah, aku balik dulu. panas rasanya kupingku mendengar daftar orang panutanmu itu," gerutuku bangkit berdiri panutan macam apa yang suka selingkuh, suka buat sesajen, suka membantu dengan balasan imbalan. Bola jingga senja masih indah-indahnya di ujung sana, tapi aku sama sekali tak peduli.
Galih hanya membiarkanku melangkah menjauh, jika aku pergi lebih dulu saat senja tengah merekah indah, itu artinya aku marah. Ada sesuatu dalam percakapan kami yang merusak moodku. Percuma menenangkanku saat itu, Galih juga tak akan melakukannya atau aku akan menelannya bulat-bulat sebagaimana ufuk barat menelan bola matahari selepas senja. Bukan karena aku punya kekuatan mistis, itu hanya kiasan saja.
***
Malam itu suara angin yang berhembus kencang dan guntur bersahutan, hujan semakin deras di luar. Tampiasnya menembus celah papan rumah kayu kami. Nenek berada dalam kamarnya dan aku masih menyelesaikan membaca buku yang kupinjam dari perpustakaan sekolah.
Tok, tok, tok
"Nek, Nek Mina, tolong kami, Nek."