Mohon tunggu...
Lukas SungkowoJoko Utomo
Lukas SungkowoJoko Utomo Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Penulis buku

Katekis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Simbok Payun

7 Juni 2023   08:19 Diperbarui: 7 Juni 2023   08:39 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Simbok tua itu tetap setia menemani perjalananku, bukan menemani, tepatnya, memaksa menemani meski hampir separuh perjalanan aku tempuh dalam diam.  Aku memang ingin berjalan sendiri menuju ke pintu gua yang sudah mulai terlihat meski saat jalan menurun dan berkelok, mulut gua kembali hilang karena tertutup pohon jati yang melingkupi sekitarnya.  Bahkan sesungguhnya, Aku merasa terganggu saat berkali kali Simbok berusaha memayungi jalanku.  Sebetulnya, aku merasa kesal, jalan yang kulalui cukup teduh karena dilingkupi pohon jati yang daunnya rimbun sehingga tidak memerlukan payung.  Selain itu, dari awal perjalanan, Simbok tidak berhenti bicara.

"Banyak lho nak, yang permohonannya terkabul saat minta sama Ibu, namanya juga ibu, pasti tidak akan tega sama anak anaknya," katanya.

"Nyuwun sewu, Mbok, sebetulnya saya ingin sendiri, kayaknya enak banget ya kalau saya bisa jalan sambil merenung," jawabku.  Saya berharap bahwa yang aku ucapkan menyadarkan Simbok Payung, bahwa aku ingin sendiri.

"Betul, nak.  Tempat ini kalau untuk merenung memang tepat sekali.  Banyak koq yang melakukannya, kadang kadang ada yang dari pagi sampai sore di depan Ibu," jelas Simbok.

"Hemmm, bagaimana caranya aku mengusir orang satu ini," batinku kesal. "Biarin saja dia mau omong apa kek, kalau tidak disahutin lama lama juga diam."

Namun ternyata Simbok Payung begitu setia, sambil terus berbicara, sekali-kali dia berjalan di sampingku berusaha memayungiku.  Ceritanya masih tetap sama, orang orang yang sudah diselamatkan karena berdoa dengan perantaraan Ibu. 


Meskipun aku tidak memperhatikan apa yang dia ceritakan, namun kesetiaan simbok dalam mengikuti perjalananku, meluluhkan kekerasan hatiku juga.

"Terima kasih, mbok," jawabku singkat sambil menerima payung yang ia sodorkan untuk kesekian kalinya.

Aku berharap dengan kuterima tawaran payungnya, ia berhenti mengikuti aku.  Tetapi ternyata aku keliru, karena hal tersebut justru membuatnya semakin semangat mengikutiku.

"Ya sudahlah.. toh dia tidak mengganggu," pikirku.

Tanpa terasa, gua Maria Tritis yang aku tuju sudah semakin dekat.  Tinggal beberapa puluh meter lagi.  Aku berhenti sejenak, "Simbok mau menunggu di sini, ikut masuk... atau mau balik ke depan?" tanyaku.

"Aku nunggu di sini saja nak.., capek kalau harus balik lagi," jawabnya

"Kalau begitu, simbok balik saja, ini sekedar uang untuk beli minum," kataku sambil menyodorkan uang sepuluh ribuan.

Simbok tua itu tersenyum, sambil menggeleng tanda menolak pemberianku.  "Ah... maruk juga nih Simbok, dikasih sepuluh ribu masak masih nolak," pikirku.  Aku semakin tidak nyaman, maka kutinggal Simbok di belakangku.  Aku meneruskan perjalanan yang tinggal beberapa langkah menuju pintu gua.

Aku sedikit kaget ketika tetes air jatuh dari batu yang bergelantungan mengenai kepalaku.  Kutelusuri celah celah yang ada dalam gua tersebut, sambil mencari tempat terbaik untuk duduk.  Tempat yang tidak banyak diganggu orang.  Dan aku menemukan tempat terbaik itu, di samping patung Bunda Maria, tetapi agak sedikit tersembunyi karena tertutup beberapa stalaktit dan stalakmit.

Gua Maria, bagi umat katolik merupakan tempat ziarah dan berdoa.  Tetapi aku tidak ingin berdoa, aku hanya ingin merasakan suasana tenang, untuk sesaat saja.

Kalau biasanya orang datang berziarah untuk meminta berkat, atau jalan terang dari kesulitan hidup yang dialami, bagiku, itu tidak berlaku.  Paling tidak untuk saat itu.  Aku hanya ingin duduk  tanpa ada yang mengganggu.  Namun ternyata, aku tidak bisa duduk dengan tenang.  Aku gelisah, namun aku tidak berusaha untuk membunuh rasa gelisahku.  Aku ingin membiarkan gelisahku menjalar ke seluruh tubuhku, keseluruh hidupku.  Kubiarkan pikiranku, hatiku mengembara melihat waktu waktu yang telah kulalui, maupun saat saat yang akan kulalui.

*************

"Kasusmu ini memang agak rumit, mas," kata dokter Andika, spesialis syaraf sekaligus psikiater yang memeriksaku.

"Kenapa Dok?" tanyaku.

"Kalau aku lihat hasil CT Scan Brain ini, memang agak berat penyakitmu," jawab dokter Andika

"Memang kenapa dok?" tanyaku semakin ingin tahu namun juga sedikit takut.  Hampir dua tahun aku ditangani dokter Andika, tetapi baru kali ini beliau mengeluh seperti itu.

"Oke, saya akan terbuka saja ya, kamu kan sudah dua puluh dua tahun, sudah cukup dewasa untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya tentang dirimu," jawabnya.

"Berdasarkan hasil pemeriksaan ini, kamu ada hermiatrovicaciribri kiri, itu semacam pengerutan otak kecil," Kata dokter tersebut.

Aku masih diam menunggu penjelasan lebih lanjut, meskipun tidak akan paham benar apa yang dijelaskan.  Bahkan mungkin untuk menuliskan nama penyakitnyapun aku salah.

"Intinya gini, ini agak sulit disembuhkan, meskipun dengan minum obat, tetapi bisa diperlambat," jelas dokter Andika

"Apa yang akan terjadi pada saya untuk selanjutnya, Dok?" tanyaku.

"Kalau seperti ini, saya tidak terlalu bisa menjelaskan ya, bingung juga saya, tapi kalau saya lihat hasil ini, mungkin kamu masih punya waktu barang tiga tahun," jawabnya.

Aku menatap dokter Andika yang diam setelah memberikan penjelasan kepadaku.  Rasanya aku ingin protes dengan apa yang dikatakan.

"Dengan peralatan canggih yang dimiliki rumah sakit ini, apakah tetap tidak bisa membantu saya, dok? Tanyaku.

"Mungkin untuk saat ini kami belum bisa berbuat banyak, Lukas.  Itulah keterbatasan kami sebagai manusia.  Kami hanya alat yang dipergunakanNya, tapi semuanya ada dalam genggamanNya." jawab Dokter Andika

Aku terdiam mendengar penjelasan itu, banyak hal yang terpikir dalam benakku.  Ada ketakutan, kekuatiran, tetapi juga kemarahan.

"Tiga tahun, waktuku masih tiga tahun. Kalau begitu buat apa aku setiap hari minum obat seabrek jika ternyata tidak mampu menyembuhkanku?" tanyaku dalam hati.

"Apakah yang bisa kulakukan dalam waktu tiga tahun? Jika aku tinggal punya waktu tiga tahun, berarti saat aku usia dua puluh lima tahun, Tuhan akan memanggilku."

Tanpa terasa, air mataku menetes, namun aku tidak berusaha untuk mengusapnya.  Aku tetap diam.  Bahkan tetesan air dari stalaktit yang bergelantungan di langit langit gua dan jatuh dikakiku, tidak lagi kurasakan.

"Bunda, aku hanya tinggal punya waktu tiga tahun lagi, apakah yang harus aku lakukan?"  Kupandangi sosok Bunda Maria, yang berdiri tegak dalam rupa patung hitam di sebelahku.

"Gila, apa yang kuharapkan dari sebuah patung? Dokter hebat dari rumah sakit hebat saja tidak bisa menyembuhkan penyakitku, dan sekarang aku mengharap kesembuhan dari patung Bunda Maria?  Ternyata aku sudah stres berat," pikirku.

Mendapat pemikiran seperti itu, aku berusaha bangkit, aku berfikir bahwa aku tidak boleh hilang ingatan hanya karena orang meramalkan kematianku. Namun aku tidak beranjak dari tempat itu. Aku pandangi patung batu hitam yang ada di sebelahku. Dan semakin lama, semakin aku merasa takut dengan hari-hari yang akan aku lewati.  Bagaimana kalau tiga tahun lagi aku benar benar mati? Dikubur sendirian dalam ruang sempit?

"Tidak, ini tidak boleh terjadi, aku takut,  Tidak!," tiba tiba suaraku menghentak keluar.

"Ada apa nak?"

Aku menengok ke belakang.  Aku melihat, Simbok pembawa payung melihatku dengan heran.  Beberapa saat aku memandangnya.  "Apa yang membuat Simbok ini begitu setia menunggui aku? Apakah karena aku belum bayar payungnya?" pikirku.

Aku kembali terduduk di tempatku. Dan aku kembali diam.  Diam dalam ketakutan, diam dalam kekuatiran.

Saat itu kulihat Simbok Payung mendekatiku. Dia bersimpuh di dekatku, tanpa bicara. Diam, seperti aku yang diam.  Namun, aku tidak tahan dengan sikapnya, akhirnya aku bertanya

"Simbok tidak pulang?"

Simbok menggeleng, "tidak nak." Jawabnya

"Kenapa Mbok?  Maaf ya Mbok, jangan tersinggung kalau aku bertanya, apakah karena aku belum bayar payung Simbok?" tanyaku.

Simbok memandangku, tetapi tidak mengatakan apa apa, dia hanya sedikit tersenyum.  Aku mencoba melihat dengan sungguh wajah yang ada di sampingku itu.  Terlihat goresan ketuaan pada wajahnya, tetapi aku juga melihat ada ketulusan di sana.  Aku menjadi kuatir, jangan jangan dia tersinggung dengan pertanyaanku.

" Mbok, maaf ya jika aku menyinggung hati Simbok, aku hanya penasaran saja bahwa Simbok masih setia berada di tempat ini." Jawabku

Simbok masih diam, tetapi meski tipis, bibirnya masih menyunggingkan senyuman.

"Nak, Ibu Maria itu baik koq, dia tahu kesusahan kita," katanya tanpa menjawab pertanyaanku.

"Maksud Simbok?"

"Anak namanya siapa?" tanyanya

"Lukas, Mbok." Jawabku

"Nak Lukas datang ke tempat yang benar, telah datang kepada ibu saat kesusahan," katanya

"Tapi aku tidak mendapat apa apa, Mbok? Bebanku juga tidak berkurang" jawabku

"Itu karena nak Lukas tidak merasakan kehadirannya.  Kalau nak Lukas bisa merasakan kehadiran Ibu Maria, pasti akan merasakan bahwa beban terasa lebih ringan." Jawab simbok.

"Nyuwun pangapunten ya nak Lukas, koq saya malah menggurui," sambung Simbok

"Sebetulnya, mereka yang datang ke sini itu adalah orang orang yang terluka, atau lebih tepatnya, orang yang putus asa.  Mereka yang sudah tidak punya harapan," sambung Simbok Payung.

Aku semakin diam mendengar keterangan Simbok Payung, namun aku terusik untuk bertanya,

"Apakah Simbok ingin mengatakan bahwa aku juga termasuk orang yang putus asa?"

"Apakah nak Lukas putus asa?"

Kembali aku terdiam. Aku mendongakkan kepalaku.  Ingin aku membuang beban dan ketakutan yang ada, tapi aku tidak tahu caranya.  Aku hanya bisa memandang batu hitam yang berdiri kokoh itu.  Namun aku kembali tertunduk.

"Bunda Maria, apakah engkau tahu apa yang aku rasakan? Apakah engkau lebih tahu dari Simbok Payung ini?" tanyaku dalam hati.

"Nak Lukas masih akan lama di sini?" terdengar suara Simbok Payung membangunkanku dari lamunan.

" emmm, sebentar lagi, Mbok, Simbok sudah akan pulang?" tanyaku balik

"Simbok akan di sini sampai nak Lukas turun," jawabnya

"Baik Mbok, sudah sore juga, mari kita turun, saya juga masih harus menempuh perjalanan yang cukup jauh," kataku.

Aku bangkit, dan Simbok Payungpun bangkit. Kami berjalan bersama menyusuri jalan berbatu di antara pohon pohon jati.  Namun ada perbedaan perjalanan pulangku meninggalkan Gua Maria Tritis dengan saat berangkat.  Rasanya aku ingin banyak mendengar Simbok payung bercerita, siapa tahu aku bisa berbagi beban.

"Simbok, kenapa begitu setia menunggu saya tadi?" Tanyaku penasaran

"Saya memang biasa pergi dan duduk di gua Tritis itu nak, habis mau apa lagi, saya toh juga tinggal sendiri di rumah.  Maka waktu saya banyak saya habiskan di dekat Bunda Maria," jawabnya.

"Terus, apa yang Simbok dapat dengan berada di depan Bunda Maria, Mbok?"

"Saya tidak mendapat apa apa, saya hanya senang saja, apalagi kalau melihat banyak orang datang ke tempat itu. Mereka datang dengan muram, tetapi saat kembali kelihatan gembira," jawabnya.

Kembali aku terdiam mendengar jawaban Simbok Payung.  "Bagaimana aku bisa gembira?  Tiga tahun lagi.  Tinggal tiga tahun lagi waktuku," batinku

"Kalau ada apa apa, nyuwun saja melalui Bunda Maria.  Minggu lalu, ada orang datang kepada Ibu Maria, kelihatan gembira sekali.  Saat saya tawari payung, dia langsung mau, bahkan mengajak saya untuk menemani berdoa di depan Bunda Maria,"  kata Simbok.

"Mungkin doanya terkabul, Mbok.  Bebannya sudah dihapuskan," jawabku menebak.

"tadinya saya juga berfikir begitu, nak.  Tetapi ternyata tidak.  Katanya, bebannya masih sama koq seperti yang kemarin kemarin, cuma sekarang dia menjadikan beban itu sahabatnya sehingga tidak lagi menjadi beban," kata simbok menjelaskan.

"Hemmm, bagus juga ide ini..., menjadikan beban sebagai sahabat." Pikirku.  Sambil berjalan aku membiarkan pikiranku mengembara kemana mana, terutama tentang ide gila yang dikatakan Simbok Payung: menjadikan beban sebagai sahabat..."

Aku tersenyum sendiri memikirkan hal tersebut, sampai tidak menyadari bahwa aku memiliki teman yang setia dalam perjalanan pulang itu.

"Sudah ya nak, saya mau pulang," suara Simbok Payung memecah lamunanku.

"terima kasih ya, Mbok, telah menemani saya," jawabku.

Simbok berlalu menuju rumahnya yang tidak jauh dari tempat aku memarkir motor.  Namun rasanya aku belum ingin pulang.  Aku ingin berlama lama menikmati kebersamaan bersama masalah rumit yang aku hadapi.  Rasanya ada sesuatu yang terlepas dari diriku.  "Ah... apakah ini berkat Bunda Maria? Tapi aku kan tidak berdoa tadi," kataku dalam hati.  Rasa-rasanya, aku memang mendapatkan kelegaan, tidak ada lagi ketakutan dan kekuatiran.

Tiba tiba, aku ingat wajah ibuku, rasanya ingin aku bersimpuh di dekat pusaranya, selagi masih ada sisa waktu.  Dia satu satunya orang yang setia menemaniku, dan orang pertama yang tahu kondisiku, atau orang kedua setelah Bunda Maria, aku tidak tahu.  Yang pasti, dia adalah orang hebat, orang yang setia.  Mungkin itu pula yang menyebabkan dia menyandang nama Setya Sudarmo.  Orang yang dengan gembira merelakan sebidang tanah miliknya dijual untuk proses pengobatanku. 

*************

"Pak Lukas," aku mendengar suara seorang anak memanggilku, aku terkejut.

"Pak Lukas aneh, baru saja menjelaskan tentang devosi kepada Bunda Maria, tiba tiba diam lama..." jelas Dorothy salah seorang muridku.

"Ya..., pak Lukas tadi memang melamun, karena ternyata Bunda Maria memang benar benar Bunda penolong, penyelamat orang orang yang sedang dalam keputus-asaan" jawabku menjelaskan.

"Saya kira tepat jika minggu depan,  bapak membagikan kisah yang pernah bapak alami terkait pengalaman di selamatkan karena berdoa melalui Bunda Maria." kataku melanjutkan.

"Yahhh... mengapa tidak sekarang, pak?" pinta mereka.

Aku tersenyum sambil membenahi buku buku yang aku pergunakan sebagai sarana mengajar tadi.  Ada kegembiraan di hatiku, gembira karena diselamatkan dan masih diberi bonus hidup 26 tahun, gembira karena anak anak masih memiliki kerinduan untuk bertemu minggu depan dalam pelajaran agama yang saya ampu. Mereka memang belum tahu apa yang aku alami, tetapi aku berharap, anak anak ini sadar bahwa hidup itu anugerah yang selayaknya disyukuri.

*Nama nama yang dipergunakan dalam kisah di atas bukan nama sebenarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun