Mohon tunggu...
Lufnatul Awwaliyah
Lufnatul Awwaliyah Mohon Tunggu... Jurnalis - Konten Budaya

Mari bercerita tentang budayamu dan budayaku

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenal Kokocoran, Tradisinya Orang Kangean

18 Januari 2022   12:30 Diperbarui: 27 Januari 2022   09:57 2589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tradisi Kokocoran (Gambar Milik Pribadi)

Kokocoran merupakan  tradisi masyarakat pulau Kangean, Kangean sendiri merupakan salah satu gugusan paling timur di Pulau Madura.

Pulau tersebut terletak antara Bali dan Madura, konon Pulau Kangean diprediksi berasal dari berbagai macam suku bangsa, dibuktikan dengan banyaknya perbedaan setiap bahasa di pulau Kangean. 

Ditelusuri dari sejarah, ternyata pulau Kangean dulunya merupakan tempat pembuangan para tahanan di masa kerajaan. 

Nah, tahanan tersebut berasal dari berbagi suku baik dari suku Tionghoa, Arab, Jawa, Sunda, Bajo, Bugis, Dayak dan Madura.

Jadi tidak heran ya, jika Anda bertandang ke pulau Kangean disuguhi dengan bahasa dan tradisi unik yang tidak sama dengan daerah Madura umumnya seperti Sumenep, Bangkalan, Pamekasan dan lain-lain.

Di pulau Kangean terdapat tradisi yang dikenal dengan sebutan Kokocoran, tradisi yang sampai saat ini lestari dan paling diminati masyarakat kepulauan Kangean.

Uniknya tradisi tersebut hanya dimiliki Pulau Kangean lho, Kokocoran tidak bisa ditemukan di daerah Madura manapun. So, untuk lebih jelasnya scrool ke bawah yah!

Kokocoran adalah semacam seni tari yang biasanya dikolaborasikan dengan hajatan. Tidak diketahui jelas sejarah tradisi tersebut, masyarakat Kangean mengatakan Kokocoran sudah ada sejak jaman dahulu dan masih dilestarikan oleh masyarakat setempat hingga saat ini.

Kokocoran biasanya akan dilaksanakan setelah melaksanakan sebuah hajatan baik itu pernikahan maupun khitanan. Namun, ada perbedaan mencolok diantara keduanya.

Kokocoran dalam pernikahan biasanya mirip dengan saweran yang mana seseorang dari berbagai kalangan baik itu kearabat dekat, maupun orang jauh bebas menyawer pengantin. 

Biasanya pengantin akan dibuatkan panggung khusus dan duduk berdampingan untuk disawer.

Sedangkan, dalam khitanan biasanya tidak di bawa sambil menari, karena menyesuaikan dengan konsep yang bertemakan religi.

Lalu, apa sih uniknya?

Kokocoran mungkin bisa dibilang mirip dengan saweran. Namun, yang membedakan Kokocoran dengan saweran ialah dari segi waktu, etika, dan musik. 

Jika saweran dilakukan kepada siapa saja pada penyayi di atas panggung, maka Kokocoran hanya dilakukan pada orang yang memiliki hajatan dan dilaksanakan saat ada acara tertentu misal pernikahan dan khitanan.

Syarat dari Kokocoran ialah wajib sadar etika, dilarang keras adanya pelecehan dalam Kokocoran karena Kokocoran dilaksanakan dalam bentuk sakral. Silahkan bebas nyawer tapi harus memenuhi standar moral yang telah ditetapkan.

Nah, yang paling unik itu adalah musiknya, siapa coba yang tidak candu ketika mendengar musik khas Kokocoran?

Bahkan nih ya, banyak sekali yang tidak bisa berhenti menari, atau masyarakat Kangean menamakannya dengann "Bujhuk" untuk menghetikan tariannya harus ada proses yang sakral juga untuk mengobatinya.

Senandung lagu "Akitik lek akitik" dan " Agoyang lek agoyang" bisa menggiyurkan para pendengarnya untuk menari. 

Kolaborasi antara lagu dan musik itulah yang membuat siapa saja tidak bisa menahan diri untuk menari. Baik dari kalangan orang tua, anak-anak, bahkan remaja.

Alat musik yang digunakan biasa disebut "Kendhang dumi", yang mana alat musik tersebut mengeluarkan suara yang khas.

Tradisi ini juga sering menjuarai lomba saat ada event budaya antar kepulauan Madura lho. Unik bukan?

Namun, beberapa tahun terakhir tradisi ini sempat mengalami pro dan kontra dikalangan masyarakat karena berhubungan dengan keyakinan masyarakat kepulauan Kangean.

Kokocoran di anggap tidak memiliki nilai moral apapun karena dianggap hanya digunakan untuk bersenang-senang saja dan dianggap membebani pihak pria ketika dalam pernikahan. Karena uang yang dikeluarkan untuk melakukan hajatan Kokocoran tidaklah sedikit.

Tarian yang terdapat dalam Kokocoran pun dianggap tidak etis, karena tidak ada sekat pembatas antara wanita dan laki-laki.

Nah, lalu apa tanggapan penulis tentang hal ini?

Menurut penulis, selama tidak membebani yang ingin melaksanakan tradisi tersebut silahkan di laksanakan, toh selama ini tidak pernah ada kasus pelanggaran hak moral di dalamnya. 

Jangan memaksa melaksanakan jika dikira kurang dalam hal finansial karena tradisi ini tidak wajib. Butuh banyak pertimbangan untuk melakukannya.

Namun, Kokocoran menjadi ikon tersendiri bagi masyarakat Kangean, jadi alangkah lebih baiknya yang melaksanakan menghargai dan yang tidak melaksanakan juga menghargai. 

Selama tradisi ini tidak merugikan siapapun dan yang melaksanakan tidak merasa dirugikan sah-sah saja untuk melakukan tradisi Kokocoran.

Tidak bosan-bosannya penulis memberi saran, mari lestarikan budaya. Karena budaya jati diri bangsa kita. Selama baik dan benar maka tradisi haruslah lestari.

Nah, gimana menurut kalian? Jika ada apendapat lain silahkan di komen yah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun