Saya juga pengguna aktif TikTok, setiap kali saya bertemu dengan beberapa konten yang berbau budaya, agama, politik dan sebagainya. Saya termasuk orang yang rajin membaca komentar, saya sering menjumpai anak di bawah umur atau remaja mengomentari konten tersebut dengan nada rasisme.
Terlepas dari bagaimana didikan orang tua dirumah, salah satu penyebab hal itu adalah tidak adanya pembinaan dalam bermedia sosial. Sehingga terjadi pemanfaatan media ke hal yang kurang baik. Jika di biarkan, hal berulang akan menjadi budaya.
Saya juga sempat tertarik dengan isu di blokirnya TikTok di negara Krishna yaitu India. Sebelum menyimpulkan India mengambil langkah yang salah atau benar saya sempat menelusuri hal tersebut di konten YouTube mahasiswa Indonesia yang tinggal di India yaitu Agus Aufiyah.Dimana dalam kontennya, ia memotret para TikTokers dari India yang notabene remaja.
Ada alun-alun khusus yang digunakan sebagai markas TikTokers tersebut, sekitar 500 atau 1000 orang setiap harinya yang datang kesana hanya untuk main TikTok, rata-rata adegan tampar-menapar, jalan-jalan dan menari. Gayanya yang mecing kata anak jaman sekarang membuat saya senyum-senyum dengan kelakukan negara pak Mahatma Gandhi ini.
Mungkin hal inilah yang menyebabkan pemerintah India memblokir TikTok, applikasi tersebut digunakan bukan dengan hal bermanfaat melainkan goyang-goyang saja. Walaupun kita tahu jika India negara yang terkenal dengan tariannya. Seandainya ke hal yang lebih bermanfaat mungkin TikTok akan bertahan sampai saat ini di India
Pemerintah India mungkin khawatir jika justru pemudanya menjadi TikTokers semua ya. Apalagi lonjakan penggunanya yang memecah rekor sebagai negara dengan pengguna TikTok terbanyak di dunia. Hehe.
Di Indonesia saya juga berharap, pemerintah mampu mengarahkan bagaimana cara memanfaatkan media dengan baik dan benar. Pemerintah diharapkan lebih aktif dan sadar akan dampak media sosial, khusunya bagi generasi muda.
Pemerintah bisa mengadakan berbagai program untuk mengatasi hal ini, karena saya pernah membaca literartur, jika tingkat depresi generasi Z lebih tinggi jika dibandingkan generasi Millenial, apalagi generasi Alpha.
Maka adakalanya pemerintah dan kita sebagai rakyat bijak dalam bermedia. Kita harus bisa membedakan mana informasi pribadi, bermanfaat dan layak di konsumsi dan mana informasi umum, hoaks, dan tidak layak. Be smart!
Jika anda tidak ingin sia-sia dijadikan produk, maka jadilah produk yang berkelas.