Gelombang protes "Turun Anwar" yang memenuhi Dataran Merdeka Kuala Lumpur pada 26 Juli 2025 bukanlah sekadar demonstrasi politik biasa. Dengan lebih dari 18.000 hingga 20.000 demonstran yang berkumpul di tengah hujan, protes itu adalah manifestasi nyata dari kekecewaan mendalam rakyat Malaysia terhadap kepemimpinan Perdqna Menteri (PM) Anwar Ibrahim yang telah gagal memenuhi janji-janji reformasinya.Â
Protes itu tampaknya menjadi momentum bagi Malaysia untuk mengakui bahwa eksperimen kepemimpinan Anwar telah berakhir dengan kegagalan dan langkah terbaik untuk masa depan bangsa adalah pergantian kepemimpinan.
Tiga tahun kepemimpinan Anwar Ibrahim telah membuktikan satu hal: gap antara retorika dan realitas yang menganga lebar.Â
Demonstran membawa spanduk bertuliskan "Step down Anwar" sambil menyuarakan frustrasi bahwa "dia telah memerintah negara selama tiga tahun dan belum memenuhi" janji-janjinya. Kegagalan paling mencolok terletak pada penanganan krisis ekonomi dan biaya hidup yang terus melonjak.
Meskipun pemerintah mengklaim inflasi stabil di 2 persen, realitas di lapangan bercerita berbeda. Demonstran dengan tegas menyatakan bahwa "biaya hidup masih tinggi", menunjukkan disconnect yang fundamental antara data statistik pemerintah dengan pengalaman hidup sehari-hari rakyat.Â
Respons Anwar terhadap krisis ini—memberikan bantuan tunai 100 ringgit (sekitar $24) kepada semua warga dewasa—adalah contoh klasik dari solusi populis jangka pendek yang menghindari akar masalah struktural.
Bantuan tunai sebesar 100 ringgit ini tidak hanya menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam mengatasi inflasi secara sistematis, tetapi juga mencerminkan pola pikir "band-aid solution" yang telah menjadi ciri khas administrasi Anwar.Â
Dalam konteks ekonomi Malaysia yang masih terbebani warisan skandal 1MDB dan tekanan inflasi global, pendekatan reaktif seperti ini justru menunjukkan ketidaksiapan pemerintah menghadapi tantangan ekonomi yang kompleks.
Yang lebih mengkhawatirkan dari kegagalan ekonomi adalah kemunduran dalam agenda reformasi yang menjadi platform utama Anwar.Â
Human Rights Watch secara tegas menyatakan bahwa pemerintah Malaysia di bawah Anwar Ibrahim telah "mundur dari komitmen untuk mereformasi undang-undang yang kabur dan berlebihan. Bahkan, pemerintahan Anwar malah dianggap berusaha memperluas kekuatan represif selama 2024 untuk mengkriminalisasi pidato".
Ironi ini sangat menyakitkan mengingat track record Anwar sebagai aktivis reformasi dan korban sistem otoritarian masa lalu. Pria yang pernah dipenjara karena menentang otoritarianisme kini justru menggunakan alat-alat represif yang sama untuk mempertahankan kekuasaannya.Â
Tuduhan demonstran bahwa Anwar menunjukkan "tendensi otoritarian" bukanlah sekadar retorika politik, melainkan refleksi dari pola kepemimpinan yang semakin mengkhawatirkan.
Transisi dari reformis menjadi penguasa otoriter ini menunjukkan bahwa power corrupts, dan Anwar tidak kebal dari sindrom ini. Malaysia membutuhkan pemimpin yang konsisten dengan nilai-nilai reformasi, bukan seseorang yang mengkhianati prinsip-prinsipnya sendiri demi mempertahankan kekuasaan.
Fragmentasi koalisi
Anwar Ibrahim datang ke kekuasaan dengan menjanjikan reformasi dan pemerintahan multirasa—tetapi dua tahun kemudian, kritikus mengatakan dia malah mengkonsolidasikan kekuasaan personal. Strategi politik Anwar yang semakin terpusat pada dirinya sendiri telah menciptakan ketidakstabilan dalam koalisi pemerintah dan memicu keretakan internal.
Azmin Ali, mantan wakil presiden Anwar di PKR sebelum membelot ke Bersatu pada 2020, secara terbuka mengkritik Anwar karena "gagal terhadap partai politik, usaha kecil, dan pengemudi taksi."Â
Kritik dari mantan sekutu terdekat ini menunjukkan bahwa masalah kepemimpinan Anwar bukan hanya persepsi eksternal, tetapi juga realitas yang dirasakan oleh orang-orang yang mengenalnya dengan baik.
Kemampuan Anwar dalam membangun konsensus dan menjaga kohesi koalisi—kualitas yang seharusnya menjadi kekuatan utamanya sebagai veteran politik—justru mengecewakan.Â
Dalam sistem politik Malaysia yang kompleks dan multietnis, kepemimpinan yang divisive seperti ini adalah resep untuk ketidakstabilan jangka panjang.
Protes "Turun Anwar" adalah "reli besar pertama yang menargetkan Anwar sejak dia menjabat pada 2022, dan satu-satunya protes massa sejak 2018". Skala dan timing demonstrasi ini menunjukkan bahwa ketidakpuasan terhadap Anwar telah mencapai titik kritis.Â
Bahkan march lawyers untuk independensi yudikatif telah "memicu antusiasme untuk reli tersebut", menunjukkan bahwa gelombang protes ini bukan fenomena terisolasi melainkan bagian dari gerakan yang lebih luas.
Malaysia berada di persimpangan jalan yang krusial. Negara ini dapat memilih untuk mempertahankan status quo dengan kepemimpinan yang terbukti gagal, atau mengambil langkah berani untuk pergantian kepemimpinan yang dapat membawa perubahan nyata.Â
Sejarah menunjukkan bahwa momentum politik seperti ini jarang terulang, dan Malaysia tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini.
Pergantian Kepemimpinan
Argumen untuk mempertahankan Anwar—stabilitas politik, pengalaman, atau ketakutan akan ketidakpastian—sudah tidak lagi relevan mengingat track record tiga tahun terakhir. Stabilitas tanpa kemajuan adalah stagnasi, dan pengalaman tanpa hasil adalah kegagalan.Â
Malaysia membutuhkan kepemimpinan yang tidak hanya berpengalaman, tetapi juga efektif dalam menerjemahkan visi menjadi realitas. Pergantian kepemimpinan bukan hanya tentang mengganti satu individu, tetapi tentang mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap institusi demokrasi.Â
Demonstran "dengan jelas percaya" bahwa perdana menteri tidak memenuhi reformasi dan transparansi yang dijanjikannya. Ketika kepercayaan ini hilang, legitimasi demokratis ikut terancam.
Masa Depan Malaysia
Malaysia memiliki cadangan kepemimpinan yang mumpuni untuk mengambil alih tongkat estafet dari Anwar. Yang dibutuhkan adalah political will untuk melakukan transisi kepemimpinan yang teratur dan demokratis. Negara ini tidak boleh terjebak dalam kultus personalitas atau ketakutan akan perubahan.
Protes "Turun Anwar" adalah sebuah wake-up call bagi seluruh elite politik Malaysia. Rakyat telah berbicara dengan suara yang jelas: mereka menginginkan perubahan. Mengabaikan suara ini tidak hanya akan memperburuk krisis legitimasi, tetapi juga berpotensi memicu ketidakstabilan politik yang lebih besar.
Anwar Ibrahim telah memiliki kesempatan yang cukup untuk membuktikan kemampuannya. Tiga tahun adalah waktu yang memadai untuk menunjukkan arah dan pencapaian konkret.Â
Kegagalannya dalam memenuhi ekspektasi rakyat, ditambah dengan kemunduran dalam agenda reformasi dan tendensi otoritarian, telah menjadikan posisinya tidak dapat dipertahankan lagi.
Malaysia layak mendapatkan kepemimpinan yang lebih baik. Saatnya untuk mengakui bahwa eksperimen Anwar telah berakhir, dan masa depan bangsa memerlukan wajah baru dengan visi yang segar. Protes di Dataran Merdeka adalah awal dari perubahan yang telah lama dinanti-nantikan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI