Human Rights Watch secara tegas menyatakan bahwa pemerintah Malaysia di bawah Anwar Ibrahim telah "mundur dari komitmen untuk mereformasi undang-undang yang kabur dan berlebihan. Bahkan, pemerintahan Anwar malah dianggap berusaha memperluas kekuatan represif selama 2024 untuk mengkriminalisasi pidato".
Ironi ini sangat menyakitkan mengingat track record Anwar sebagai aktivis reformasi dan korban sistem otoritarian masa lalu. Pria yang pernah dipenjara karena menentang otoritarianisme kini justru menggunakan alat-alat represif yang sama untuk mempertahankan kekuasaannya.Â
Tuduhan demonstran bahwa Anwar menunjukkan "tendensi otoritarian" bukanlah sekadar retorika politik, melainkan refleksi dari pola kepemimpinan yang semakin mengkhawatirkan.
Transisi dari reformis menjadi penguasa otoriter ini menunjukkan bahwa power corrupts, dan Anwar tidak kebal dari sindrom ini. Malaysia membutuhkan pemimpin yang konsisten dengan nilai-nilai reformasi, bukan seseorang yang mengkhianati prinsip-prinsipnya sendiri demi mempertahankan kekuasaan.
Fragmentasi koalisi
Anwar Ibrahim datang ke kekuasaan dengan menjanjikan reformasi dan pemerintahan multirasa—tetapi dua tahun kemudian, kritikus mengatakan dia malah mengkonsolidasikan kekuasaan personal. Strategi politik Anwar yang semakin terpusat pada dirinya sendiri telah menciptakan ketidakstabilan dalam koalisi pemerintah dan memicu keretakan internal.
Azmin Ali, mantan wakil presiden Anwar di PKR sebelum membelot ke Bersatu pada 2020, secara terbuka mengkritik Anwar karena "gagal terhadap partai politik, usaha kecil, dan pengemudi taksi."Â
Kritik dari mantan sekutu terdekat ini menunjukkan bahwa masalah kepemimpinan Anwar bukan hanya persepsi eksternal, tetapi juga realitas yang dirasakan oleh orang-orang yang mengenalnya dengan baik.
Kemampuan Anwar dalam membangun konsensus dan menjaga kohesi koalisi—kualitas yang seharusnya menjadi kekuatan utamanya sebagai veteran politik—justru mengecewakan.Â
Dalam sistem politik Malaysia yang kompleks dan multietnis, kepemimpinan yang divisive seperti ini adalah resep untuk ketidakstabilan jangka panjang.
Protes "Turun Anwar" adalah "reli besar pertama yang menargetkan Anwar sejak dia menjabat pada 2022, dan satu-satunya protes massa sejak 2018". Skala dan timing demonstrasi ini menunjukkan bahwa ketidakpuasan terhadap Anwar telah mencapai titik kritis.Â