Ketika gelombang proteksionisme Amerika Serikat (AS) kembali menghantam kawasan Asia Tenggara melalui kebijakan tarif timbal balik Donald Trump, Indonesia menunjukkan kemampuan diplomasi ekonomi yang patut diapresiasi.Â
Indonesia berhasil turun tarifnya dari awal 32% menjadi 19%, sebuah pencapaian yang menempatkan negara ini dalam posisi yang relatif menguntungkan dibandingkan sebagian besar tetangganya di kawasan ASEAN.
Dalam konteks regional, pencapaian Indonesia ini menjadi lebih bermakna ketika kita membandingkannya dengan nasib negara-negara Asia Tenggara lainnya.
Kamboja dengan 49 persen, Laos 48 persen, Vietnam 46 persen, Thailand 36 persen, Indonesia 32 persen, Malaysia 24 persen, Brunei 24 persen, Filipina 17 persen, dan Singapura 10 persen adalah daftar lengkap tarif yang diberlakukan Trump untuk kawasan ASEAN.Â
Meskipun Indonesia masih menghadapi tarif yang cukup tinggi, kemampuannya menurunkan tarif dari 32% menjadi 19% menunjukkan keberhasilan strategi negosiasi yang dilakukan pemerintah.
Yang menarik adalah perbandingan Indonesia dengan Filipina yang mendapat perlakuan serupa. Filipina diturunkan sama dengan Indonesia menjadi 19%, menunjukkan bahwa kedua negara memiliki daya tawar yang setara dalam negosiasi dengan Washington.Â
Namun, perbedaan mendasar terletak pada detail kesepakatan yang dicapai. Indonesia berhasil merundingkan paket komprehensif yang tidak hanya melibatkan penurunan tarif, tetapi juga komitmen investasi dan pembelian produk Amerika dalam skala yang signifikan.
Keunggulan posisi Indonesia semakin terlihat ketika dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang masih terjebak dalam ketidakpastian. Malaysia dan Kamboja masih menghadapi ketidakjelasan hingga 1 Agustus mendatang.Â
Kondisi ini menunjukkan bahwa tidak semua negara ASEAN berhasil mencapai kesepakatan seperti Indonesia. Lalu, negara-negara seperti Vietnam dan Thailand yang menghadapi tarif yang jauh lebih tinggi masih berjuang untuk menemukan formula negosiasi yang tepat.
Strategi Indonesia dalam negosiasi ini mencerminkan pemahaman mendalam tentang dinamika politik ekonomi Amerika di era Trump kedua. Pemerintah Indonesia menyadari bahwa pendekatan transaksional yang disukai Trump memerlukan konsesi nyata dan terukur.Â
Indonesia akan memasok AS dengan mineral kritis mereka yang berharga, menunjukkan bagaimana Indonesia memanfaatkan kekayaan sumber daya alamnya sebagai kartu tawar dalam negosiasi.
Komitmen pembelian produk Amerika yang mencapai total hampir 20 miliar dolar AS juga mendemonstrasikan pendekatan pragmatis Indonesia.Â
Dari pembelian 50 unit pesawat Boeing, produk energi senilai 15 miliar dolar, hingga produk pertanian senilai 4,5 miliar dolar, Indonesia menunjukkan kesediaan untuk memberikan konsesi ekonomi yang substansial demi stabilitas hubungan perdagangan.
Namun demikian, kesepakatan ini bukan tanpa risiko. Kewajiban Indonesia untuk memberikan akses bebas tarif bagi produk Amerika sambil membayar tarif 19% untuk ekspornya menciptakan asimetri yang perlu dikelola dengan hati-hati.Â
Transfer data pribadi ke Amerika Serikat juga menimbulkan pertanyaan tentang kedaulatan digital Indonesia di masa depan.
Yang mengkhawatirkan adalah sifat sementara dari kesepakatan ini. Keringanan tarif Trump untuk Jepang dan Asia Tenggara bersifat sementara. Kenyataan ini berpotensi menjadi ancaman mengingat stabilitas yang dicapai saat ini bisa saja berubah seiring dengan dinamika politik AS atau perubahan kondisi global.
Jika dibandingkan dengan Jepang yang berhasil mendapatkan tarif 15%, posisi Indonesia memang belum optimal.Â
Meski begitu, posisi strategis Jepang sebagai sekutu strategis AS dengan sejarah kerjasama yang panjang dan komitmen investasi yang jauh lebih besar membedakannya dengan negara-negara lainnya. Jepang berkomitmen untuk berinvestasi US$ 550 miliar, suatu angka yang jauh melampaui kemampuan Indonesia saat ini.
Membangun strategi
Indonesia seharusnya melihat pencapaian ini sebagai fondasi untuk membangun strategi jangka panjang yang lebih diversifikasi. Ketergantungan berlebihan pada pasar Amerika dapat menjadi kelemahan strategis jika kondisi politik berubah.Â
Momentum ini harus dimanfaatkan untuk memperkuat integrasi ekonomi regional melalui ASEAN dan memperdalam kerjasama dengan mitra perdagangan lain seperti China, Jepang, dan Uni Eropa.
Dalam konteks yang lebih luas, keberhasilan Indonesia dalam negosiasi tarif Trump ini menunjukkan kematangan diplomasi ekonomi negara. Kemampuan untuk menyeimbangkan antara konsesi yang diperlukan dengan kepentingan nasional jangka panjang menjadi pembelajaran berharga.Â
Indonesia berhasil memposisikan diri sebagai mitra yang dapat diandalkan sambil tetap mempertahankan ruang gerak untuk kepentingan nasionalnya. Dalam dinamika itu, Indonesia perlu terus memperkuat posisi tawarnya melalui peningkatan daya saing ekonomi, diversifikasi perdagangan, dan penguatan kerja sama regional.Â
Pengalaman menghadapi tarif Trump ini seharusnya menjadi catalyst untuk reformasi struktural yang lebih mendalam, bukan sekadar solusi temporer untuk menghindari tekanan perdagangan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI