Parade Hari Kemenangan di Moscow pada 9 Mei 2025 dapat saja dianggap lebih dari sekadar perayaan sejarah. Parade itu adalah panggung geopolitik di mana Vladimir Putin dan Xi Jinping membentangkan narasi tandingan terhadap hegemoni Amerika Serikat (AS).
Kehadiran Xi Jinping sebagai tamu kehormatan menghadirkan simbolisme mendalam. Dalam bayangan perang di Ukraina, kedua pemimpin itu membangun aliansi yang lebih dari sekadar kerja sama diplomatik.Â
Narasi tandingan itu adalah pernyataan perang konseptual melawan tatanan internasional yang dipimpin Barat. Bahkan, parade militer yang memperingati 80 tahun kemenangan atas Nazi Jerman ini tidak hanya tentang menghormati sejarah, melainkan proyeksi kekuatan geopolitik.Â
Putin dengan sengaja mengundang Xi untuk mengirim pesan: Rusia dan China membentuk poros alternatif di tengah gejolak global.
Di sisi lain, kehadiran Trump malah dipandang memperumit dinamika ini. Presiden AS yang bersikap tidak konsisten terhadap Rusia telah membuka ruang bagi Putin dan Xi untuk memperkuat aliansi mereka.Â
Kebijakan "America First" justru mendorong dua kekuatan besar ini untuk saling mendekat. Apalagi, kebijakan tarif Trump terhadap China dan kelanjutan blokade ekonomi AS terhadap Rusia dapat menjadi alasan aliansi Rusia-China.
Perjanjian bilateral Rusia-China mencakup kerja sama teknologi, ekonomi, hingga keamanan. China menjadi lifeline ekonomi bagi Rusia yang terkena sanksi, sedangkan Rusia memberikan akses sumber daya alam dan dukungan diplomatik kepada China.
Meski begitu, di balik persekutuan ini tersimpan kompleksitas yang rumit. China secara strategis menjaga jarak dengan konflik Ukraina. China tdak ingin terlalu terikat dengan petualangan militer Putin.Â
Mereka lebih memilih posisi pragmatis: mendapatkan keuntungan ekonomi sambil menjaga fleksibilitas diplomatik.
Parade militer dengan 11.500 tentara dan deretan senjata canggih, termasuk drone buatan Rusia, adalah pertunjukan kekuatan. Bukan sekadar perayaan kemenangan masa lalu, melainkan pernyataan ambisi masa depan.Â