Pendudukan Jepang atas Semarang dimulai pada Maret 1942 dan berlangsung hingga Agustus 1945. Meski singkat, masa ini menjadi babak penting yang mengubah orientasi politik dan psikologi masyarakat.
Sejara(h)wan Takashi Shiraishi (1990), misalnya, menyebutkan bahwa Jepang menggunakan kota-kota seperti Semarang untuk membangun jaringan kekuasaannya melalui pendekatan “Asia untuk Asia.”
Ini semacam propaganda yang dibungkus dalam bahasa pembebasan. Dalam praktiknya, kota-kota pelabuhan seperti Semarang tetap digunakan untuk kepentingan logistik dan militer Jepang di Pasifik.
Kota ini berkembang menjadi titik transit penting bagi suplai militer, tenaga kerja romusha, dan bahkan penahanan para tawanan perang Sekutu.
Salah satu jejak sejarah paling kelam dari masa pendudukan Jepang di Semarang adalah tragedi Gadis Jugun Ianfu. Dalam tragedi itu, perempuan-perempuan lokal dipaksa menjadi budak seks bagi tentara Jepang.
Menurut catatan riset Yoshimi Yoshiaki (2000), Semarang merupakan salah satu lokasi rumah bordil militer resmi yang dikelola oleh otoritas pendudukan. Peristiwa ini jelas-jelas menjadi catatan luka mendalam yang sering kali tertutup dalam narasi sejarah nasional.
Walau begitu, catatan kelam itu tetap penting untuk diingat sebagai bagian dari simpul penderitaan global dalam konteks perang.
Di sisi lain, masa pendudukan Jepang juga membentuk kesadaran nasional yang lebih luas di kalangan rakyat Semarang.
Sekolah-sekolah diubah menjadi pusat pelatihan militer dan ideologis. Organisasi bentukan Jepang, seperti Seinendan dan Keibodan, merekrut pemuda-pemuda lokal.
Ini menjadi semacam “pendidikan politik paksa” yang kemudian berkontribusi pada militansi gerakan kemerdekaan pasca-1945. Benedict Anderson (2001) mengungkapkan bahwa pendudukan Jepang memberikan ruang bagi lahirnya imajinasi nasional melalui struktur kekuasaan yang justru membatasi.
Semarang dapat dianggap sebagai salah satu panggung penting di mana imajinasi tentang identitas nasional itu tumbuh.