Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kolonialisme dan Kosmopolitanisme: Menggali Warisan Budaya Asing di Semarang

4 April 2025   09:53 Diperbarui: 4 April 2025   09:53 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSxICJsNkQLKf6Gy1VWWw4QWA0Xy701Vxm9tgwgT_olB5Kwp8_YYUF2QOc&s=10

Di antara berbagai label yang disematkan pada Semarang, kota ini dapat dipandang menyimpan paradoks sejarah. Di satu sisi, Semarang tak bisa dielakkan adalah produk kolonialisme. Kota ini dirancang, dibangun, dan dikendalikan oleh kekuasaan asing demi mengeksploitasi sumber daya lokal. 

Namun di sisi lain, Semarang juga bisa dikatakan telah tumbuh menjadi kota kosmopolitan. Kota ini adalah tempat berbagai etnis, agama, dan budaya bertemu, hidup berdampingan, bahkan saling mempengaruhi secara damai. 

Warisan budaya asing di kota ini adalah cermin dari ketegangan dan, sekaligus, kemungkinan antara penaklukan dan percampuran. Sebagai kota pelabuhan utama sejak masa VOC, Semarang menjadi pusat strategi dagang Belanda di Pulau Jawa. 

Namun berbeda dengan Batavia yang cenderung dianggap eksklusif, Semarang berkembang menjadi kota terbuka. Sejara(h)wan Peter Carey (2011) pernah mencatat bahwa Semarang memiliki karakter “semi-otonom” dalam sistem kolonial. 

Karakter itu ditandai oleh adanya ruang bagi komunitas non-Belanda, seperti Tionghoa, Arab, dan India, untuk mengembangkan peran ekonomi dan sosial mereka.

Jejak kolonial kelihatan dominan dalam tata ruang kota. Kawasan Kota Lama—yang dahulu disebut Oudstad—dibangun dengan konsep Eropa: jalan lurus, kanal-kanal air, dan bangunan pemerintahan berbentuk simetris. 

Di kawasan ini, berdiri ikon kolonial seperti Gedung Oudetrap, Gereja Blenduk, dan Stasiun Tawang. Menariknya, bangunan-bangunan itu tidak berdiri di ruang kosong. Mereka tumbuh berdampingan dengan rumah-rumah warga lokal, toko Tionghoa, dan pasar-pasar pribumi.

Kosmopolitanisme 

Inilah bentuk awal dari kosmopolitanisme Semarang. Wujudnya bukan dalam makna mewah dan elit seperti dalam kota-kota Eropa, tetapi sebagai bentuk perjumpaan yang lahir dari keterpaksaan, perdagangan, dan adaptasi sosial. 

Kosmopolitanisme di sini bersifat “akar rumput,” yaitu tempat masyarakat membentuk jaringan lintas etnis di luar kerangka kolonial formal. Dalam istilah antropolog Homi K. Bhabha (1994), ini adalah ruang third space, yaitu: sebuah wilayah budaya baru yang lahir dari percampuran tanpa harus menghilangkan identitas asal.

Warisan budaya asing juga tertanam dalam seni dan kepercayaan masyarakat. Kelenteng Sam Poo Kong, misalnya, tidak hanya menjadi tempat ibadah warga Tionghoa, tetapi juga dihormati oleh warga Jawa karena legenda Laksamana Cheng Ho yang disebut-sebut membawa Islam ke Jawa dengan pendekatan damai. 

Ritual di klenteng ini, konon, menggabungkan unsur Taoisme, Islam, dan budaya Jawa lokal. Dalam pandangan Kees van Dijk (2009), praktik keagamaan di Semarang menunjukkan adanya sinkretisme budaya yang mencerminkan fleksibilitas masyarakat pelabuhan.

Kosmopolitanisme juga ternyata berkembang di bidang pendidikan dan pers. Sekolah-sekolah Tionghoa, Arab, dan pribumi berdiri berdampingan dengan sekolah-sekolah Belanda. Surat kabar multibahasa—berbahasa Melayu, Belanda, Tionghoa, dan Arab—beredar luas di awal abad ke-20. 

Gambaran ini menunjukkan bahwa Semarang tidak hanya menerima pengaruh budaya asing, tetapi juga menjadi pusat produksi wacana dan pengetahuan lokal yang bersifat global.

Namun warisan kolonial dan kosmopolitanisme itu kini berada di titik kritis. Banyak bangunan tua rusak atau tak terawat, kawasan multietnis menyusut karena urbanisasi, dan memori kolektif tentang perjumpaan budaya makin kabur dalam kehidupan modern yang serba cepat. 

Padahal, upaya menggali warisan kolonial bukan untuk memuliakan penjajah, tetapi untuk memahami kompleksitas hubungan kekuasaan dan budaya (Said, 1978).

Dalam konteks Semarang, menggali kembali warisan budaya asing justru bisa menjadi jalan untuk memperkuat identitas kota sebagai ruang terbuka. Kosmopolitanisme bukan berarti kehilangan jati diri, tetapi kemampuan untuk hidup dalam keberagaman secara setara. 

Di masa kini, ketika intoleransi dan homogenisasi mengancam ruang publik, Semarang punya potensi menjadi model kota yang memelihara keberagaman melalui rekonstruksi sejarah.

Sebagai seorang warga yang lahir dan besar di kota ini, artikel ini ditulis bukan sekadar sebagai catatan sejarah (internasional), tetapi lebih untuk pengingat: bahwa kita hidup di kota yang pernah menjadi ruang belajar dunia. 

Pelabuhan yang dulu menjadi titik masuk rempah-rempah, manusia, dan ide-ide, kini bisa menjadi pelabuhan baru bagi dialog lintas generasi dan lintas budaya.

Semarang bukan hanya tentang gedung tua dan festival tahunan. Kota ini adalah cermin yang bisa memperlihatkan kepada generasi muda bahwa menjadi bagian dari sejarah dunia bukanlah warisan pasif, tetapi tanggung jawab aktif. 

Warisan budaya asing bukan benda mati, tetapi energi yang bisa menghidupkan kembali semangat keterbukaan, toleransi, dan kreativitas sosial.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun