Semarang bukan sekadar kota di pesisir Utara Jawa. Sejarah ibukota provinsi Jawa Tengah ini ternyata adalah kota yang pernah disinggahi dan ditinggali oleh dunia.
Jejaknya bukan hanya terlihat dalam dokumen-dokumen sejarah, tetapi juga pada bangunan-bangunan tua yang megah, logat multietnis yang hidup di pasar-pasar, dan makanan yang diracik dari perpaduan rasa berbagai bangsa.
Jika kita membaca kota sebagai teks, maka Semarang adalah sebuah kitab besar tentang interaksi global di ruang lokal.
Salah satu elemen paling mencolok dari jejak global di Semarang adalah arsitekturnya. Kawasan Kota Lama adalah laboratorium sejarah visual tempat gaya arsitektur Eropa, Tionghoa, dan lokal saling bersilangan.
Menurut catatan Joost Coté (2003), Semarang merupakan kota kolonial yang mencerminkan “proyeksi visual kekuasaan dan perdagangan.” Tata kota dan bangunannya menjadi instrumen untuk menata masyarakat.
Arsitektur bergaya neo-klasik, art deco, dan Indische sangat mendominasi bangunan-bangunan pemerintahan dan perniagaan di masa VOC dan Hindia Belanda.
Namun, tak jauh dari kawasan kolonial itu, berdiri pula klenteng-klenteng Tionghoa seperti Tay Kak Sie dan kelenteng Sam Poo Kong yang menjadi saksi hidup diaspora Asia Timur.
Keberadaan arsitektur itu bukan cuma menandakan kehadiran etnis tertentu, tetapi juga menjadi bukti bahwa Semarang tumbuh dalam jejaring global sejak abad ke-17. Kenyataan itu memperkuat pandangan historian Denys Lombard (1990) bahwa kota pelabuhan di Asia Tenggara selalu menjadi “ruang pertemuan dan pembauran budaya.”
Selain itu, bahasa juga menjadi medan interaksi yang mencerminkan globalitas Semarang. Di pasar tradisional, kita bisa mendengar sapaan khas Jawa bercampur dengan logat Arab, Mandarin, hingga Belanda.
Masyarakat Tionghoa lokal, misalnya, telah menciptakan bentuk bahasa hibrida yang disebut bahasa peranakan. Bahasa ini mencampur Bahasa Melayu pasar dengan kosakata Tionghoa dan Belanda. Dalam keseharian, bahasa menjadi alat negosiasi identitas dan kekuasaan.