Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Arsitektur, Bahasa, dan Makanan: Ketika Dunia Tinggal di Semarang

1 April 2025   12:34 Diperbarui: 1 April 2025   13:59 6224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
BBC Indonesia via KOMPAS.com

Semarang bukan sekadar kota di pesisir Utara Jawa. Sejarah ibukota provinsi Jawa Tengah ini ternyata adalah kota yang pernah disinggahi dan ditinggali oleh dunia. 

Jejaknya bukan hanya terlihat dalam dokumen-dokumen sejarah, tetapi juga pada bangunan-bangunan tua yang megah, logat multietnis yang hidup di pasar-pasar, dan makanan yang diracik dari perpaduan rasa berbagai bangsa. 

Jika kita membaca kota sebagai teks, maka Semarang adalah sebuah kitab besar tentang interaksi global di ruang lokal.

Salah satu elemen paling mencolok dari jejak global di Semarang adalah arsitekturnya. Kawasan Kota Lama adalah laboratorium sejarah visual tempat gaya arsitektur Eropa, Tionghoa, dan lokal saling bersilangan. 

Menurut catatan Joost Coté (2003), Semarang merupakan kota kolonial yang mencerminkan “proyeksi visual kekuasaan dan perdagangan.” Tata kota dan bangunannya menjadi instrumen untuk menata masyarakat. 

Arsitektur bergaya neo-klasik, art deco, dan Indische sangat mendominasi bangunan-bangunan pemerintahan dan perniagaan di masa VOC dan Hindia Belanda.

Namun, tak jauh dari kawasan kolonial itu, berdiri pula klenteng-klenteng Tionghoa seperti Tay Kak Sie dan kelenteng Sam Poo Kong yang menjadi saksi hidup diaspora Asia Timur. 

Keberadaan arsitektur itu bukan cuma menandakan kehadiran etnis tertentu, tetapi juga menjadi bukti bahwa Semarang tumbuh dalam jejaring global sejak abad ke-17. Kenyataan itu memperkuat pandangan historian Denys Lombard (1990) bahwa kota pelabuhan di Asia Tenggara selalu menjadi “ruang pertemuan dan pembauran budaya.”

Selain itu, bahasa juga menjadi medan interaksi yang mencerminkan globalitas Semarang. Di pasar tradisional, kita bisa mendengar sapaan khas Jawa bercampur dengan logat Arab, Mandarin, hingga Belanda. 

Masyarakat Tionghoa lokal, misalnya, telah menciptakan bentuk bahasa hibrida yang disebut bahasa peranakan. Bahasa ini mencampur Bahasa Melayu pasar dengan kosakata Tionghoa dan Belanda. Dalam keseharian, bahasa menjadi alat negosiasi identitas dan kekuasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun