Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kolonialisme dan Kosmopolitanisme: Menggali Warisan Budaya Asing di Semarang

4 April 2025   09:53 Diperbarui: 4 April 2025   09:53 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSxICJsNkQLKf6Gy1VWWw4QWA0Xy701Vxm9tgwgT_olB5Kwp8_YYUF2QOc&s=10

Warisan budaya asing juga tertanam dalam seni dan kepercayaan masyarakat. Kelenteng Sam Poo Kong, misalnya, tidak hanya menjadi tempat ibadah warga Tionghoa, tetapi juga dihormati oleh warga Jawa karena legenda Laksamana Cheng Ho yang disebut-sebut membawa Islam ke Jawa dengan pendekatan damai. 

Ritual di klenteng ini, konon, menggabungkan unsur Taoisme, Islam, dan budaya Jawa lokal. Dalam pandangan Kees van Dijk (2009), praktik keagamaan di Semarang menunjukkan adanya sinkretisme budaya yang mencerminkan fleksibilitas masyarakat pelabuhan.

Kosmopolitanisme juga ternyata berkembang di bidang pendidikan dan pers. Sekolah-sekolah Tionghoa, Arab, dan pribumi berdiri berdampingan dengan sekolah-sekolah Belanda. Surat kabar multibahasa—berbahasa Melayu, Belanda, Tionghoa, dan Arab—beredar luas di awal abad ke-20. 

Gambaran ini menunjukkan bahwa Semarang tidak hanya menerima pengaruh budaya asing, tetapi juga menjadi pusat produksi wacana dan pengetahuan lokal yang bersifat global.

Namun warisan kolonial dan kosmopolitanisme itu kini berada di titik kritis. Banyak bangunan tua rusak atau tak terawat, kawasan multietnis menyusut karena urbanisasi, dan memori kolektif tentang perjumpaan budaya makin kabur dalam kehidupan modern yang serba cepat. 

Padahal, upaya menggali warisan kolonial bukan untuk memuliakan penjajah, tetapi untuk memahami kompleksitas hubungan kekuasaan dan budaya (Said, 1978).

Dalam konteks Semarang, menggali kembali warisan budaya asing justru bisa menjadi jalan untuk memperkuat identitas kota sebagai ruang terbuka. Kosmopolitanisme bukan berarti kehilangan jati diri, tetapi kemampuan untuk hidup dalam keberagaman secara setara. 

Di masa kini, ketika intoleransi dan homogenisasi mengancam ruang publik, Semarang punya potensi menjadi model kota yang memelihara keberagaman melalui rekonstruksi sejarah.

Sebagai seorang warga yang lahir dan besar di kota ini, artikel ini ditulis bukan sekadar sebagai catatan sejarah (internasional), tetapi lebih untuk pengingat: bahwa kita hidup di kota yang pernah menjadi ruang belajar dunia. 

Pelabuhan yang dulu menjadi titik masuk rempah-rempah, manusia, dan ide-ide, kini bisa menjadi pelabuhan baru bagi dialog lintas generasi dan lintas budaya.

Semarang bukan hanya tentang gedung tua dan festival tahunan. Kota ini adalah cermin yang bisa memperlihatkan kepada generasi muda bahwa menjadi bagian dari sejarah dunia bukanlah warisan pasif, tetapi tanggung jawab aktif. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun