Sore menjelang malam di warung Bude Asih, Swanston Street, Melbourne. Lampu-lampu jalan mulai berbaris menerangi jalan paling utama di kota besar ini. Â
Aroma rendang dan sambal terasi menguar memenuhi ruangan kecil. Bendera merah putih mini dan foto-foto kuliner Nusantara melengkapi riuhnya ruangan itu.Â
Di sudut warung, lima mahasiswa Indonesia duduk mengelilingi meja bundar. Tiga piring nasi padang, dua porsi mi ayam, dan segelas es teh manis yang berpindah-pindah tangan menemani mereka.
"Wes, mantep amat ini!" seru Bagus sambil menyendok kuah rendang ke dalam mulutnya. "Rasanya persis kayak di Mbah Sur, mBulaksumur."
"Halah, mbok ndak usah lebay. Lha wong Mbah Sur ndak jualan rendang," sergah Dimas, mengaduk-aduk mi ayamnya. "Tapi aku setuju, ini rasanya mirip banget sama yang di kampung sana."
Mas Dab, yang baru saja menyeruput es teh manis, mengangguk pelan. Pria berusia tiga puluhan itu sedang menempuh S3 di Melbourne Uni. Putihnya rambut menjadi penanda mas Dab lebih tua dari keempat temannya yang masih S1 dan S2.
"Mumpung ngomongin kampung," kata Mas Dab, "kalian jadi ke Sydney minggu depan?"
Tak ayal pertanyaan itu memecah pikiran Reza yang sedari tadi melamun sambil memandangi layar ponselnya. "Sori, gue dari tadi ngecek harga tiket bus. Mahal banget, men. Tapi kayaknya gue tetep nekat deh."
"Ya iyalah nekat," timpal Adit. "Kapan lagi nonton Timnas secara live? Apalagi lawan Australia. Leg pertama kemarin kita cuma kalah tipis 1-0. Siapa tahu bisa bikin kejutan."
Mas Dab tersenyum tipis. "Jaman aku dulu di Yogya, nonton bola ya di Angkringan Pak Tego. Rame-rame. Satu tivi kecil buat puluhan orang. Kalau gol, kopi-kopi pada tumpah semua."