Mohon tunggu...
Luca Cada Lora
Luca Cada Lora Mohon Tunggu... Mahasiswa/Pelajar -

Entrepreneur, vegan & energy enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Bilah Raksasa yang Bias dan Reaksi Abadi yang Dijauhi

31 Agustus 2017   12:53 Diperbarui: 31 Agustus 2017   13:09 2910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa yang pertama kali di pikiran anda saat mendengar energi terbarukan ? Kalau saya boleh jujur, kincir angin pertama terlintas di benak saya sewaktu SD yang saat itu masih sering didengar sebagai PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Angin) namun sekarang lebih disebut bayu sehingga berubah menjadi PLTB. Tak dapat dipungkiri juga, kebanyakan orang awam mungkin akan berpendapat demikian. PLTB pun menjadi sebuah stereotypeseakan energi ini menjadi energi masa depan di Indonesia, terlebih dengan berbagai poster dan landscape keren yang ada di film-film.

Sumber : Bloomberg
Sumber : Bloomberg


Penerapannya pun makin meningkat tiap tahun dengan dibarengi penurunan energi fosil. Denmark dianggap menjadi sebuah kiblat dalam penerapan energi terbarukan ini selain negara maju lainnya di Eropa seperti Jerman, Norwegia dan Swedia. Dengan berbagai berita dan video mengenai teknologi mereka, netizen seakan terperangah dan berpendapat bahwa energi mereka bebas dari CO2

Sumber : https://www.electricitymap.org
Sumber : https://www.electricitymap.org
xx.jpg
xx.jpg

Ketiga gambar di atas menunjukkan emisi CO2 yang dihasilkan oleh Denmark, Jerman dan Swedia secara berturut-turut. Terlihat jelas bahwa emisi CO2 dari Swedia (34gr/kW) paling sedikit dibandingkan Jerman (383 gr/kWh) dan Denmark (411 gr/kWh) padahal data beberapa bulan lalu Jerman lebih banyak mengeluarkan emisi dibandingkan dengan Denmark. Sebuah tanda tanya besar karena negara ini sering dipuja-puja dengan kebun kincir anginnya. 

Jika ditelusuri lebih lanjut, 74% sumber energi listrik dari Swedia berasal dari energi hidro dan energi nuklir dengan energi angin menyumbang 10% kebutuhan listrik di sana. Hal yang begitu terbalik datang dari Jerman dengan suplai dari PLTB sebesar 16%. Kebijakan jerman untuk meningkatkan energi anginnya hingga tahun 2019, membuatnya harus menggelontorkan dana sebesar 1,1 milyar USD. Namun apa nyatanya ? Jerman masih bergantung pada batubara yang kotor. Keaadan cuaca lah yang mengharuskan Jerman untuk tetap bergantug pada batubara. 2016 merupakan masa yang suram ketika angin tak lagi berhembus sekencang tahun lalu.

Hal ini mengindikasikan bahwa energi angin bahkan solar sekalipun sebenarnya bukan hal yang sangat menjanjikan, tapi bukan berarti energi ini ditinggalkan begitu saja. Namun ini dapat menjadi sebuah kaca yang besar bagi Indonesia dalam pengembangan energi terbarukan, terlebih telah terjadi beberapa kasus mangkraknya atau bahkan berhenti beroprasinya sebuah PLTB di Bantul dengan indikasi kekurangan angin.

Bilah-bilah besar sedang berusaha dibangun di dataran Sulawesi yang katanya memiliki potensi angin diatas rata-rata wilayah lain. Jika ditinjau dari letak geografisnya, sebagian wilayah Sulawesi dihembus angin dengan kecepatan diatas 18 knot, kondisi yang cukup ideal untuk PLTB dibandingkan daerah Bantul. Namun apakah kecepatan angin itu mampu menggerakkan bilah raksasa yang di impor dari dataran Eropa ?

Sumber : http://indonesia.windprospecting.com/
Sumber : http://indonesia.windprospecting.com/

Pada prinsipnya, energi angin yang dikonversikan menjadi listrik ini memanfaatkan berputarnya turbin yang terhubung dengan generator. Tidak seperti energi hidro pada PLTA yang kebanyakan memiliki suplai air yang sustain,terutama PLTMH yang dibangun dengan sumber mata air pegunungan, PLTB tidak dapat diprediksi yang berimbas pada fluktuasi energi yang dihasilkan. Dengan kata lain, energi dari angin bisa turun drastis secara tiba-tiba padahal kebutuhan energi terbilang konstan bahkan terus meningkat. 

Tantangan lain yang menjadi sorotan dari PLTB yaitu gangguan yang dihasilkan dari suara bising serta ancaman bagi hewan udara yang melintasinya seperti kelelawar dan burung. Pembangunan PLTA tidak hanya di darat, namun juga di laut lepas yang anginnya lebih kencang. Namun tidak semudah yang dibayangkan, pembangunannya menelan biaya yang begitu besar dengan hambatan sistem transmisi yang jauh dari pengguna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun