Mohon tunggu...
Lubisanileda
Lubisanileda Mohon Tunggu... Editor - I'm on my way

A sky full of stars

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Dulu "WarJaki" Kini "WarGrab"

4 Desember 2019   20:15 Diperbarui: 5 Desember 2019   11:47 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Enam belas tahun mengenyam profesi sebagai jurnalis sejak 2003 silam hingga kini 2019, saya belum juga pandai mengendarai sepeda motor. Padahal sejak menjatuhkan pilihan bekerja menjadi jurnalis, memiliki kendaraan pribadi itu seperti hukum yang tak tertulis ((harus ada)).

Wajar, pekerjaan ini tak hanya menuntut pekerjanya cerdas menangkap isu, juga sigap melesat cepat sampai di lokasi sebuah kejadian yang sedang berlangsung. Sebut saja seperti peristiwa kebakaran misalnya.

Selama ini, entah karena beruntung atau diuntungkan (tanpa bermaksud gender), karena berjenis kelamin perempuan  saya tak pernah ingkar pun mangkir dari tugas yang dibebankan kepada saya selama menjalani profesi ini.

Jika tidak jalan kaki, biasanya saya menggunakan jasa transportasi umum. Sesekali saya beruntung mendapat zona nyaman sebagai 'Boncengers' oleh rekan seperjuangan profesi. Alhamdulillah.

Itu sebab rekan-rekan seprofesi kerap menyebut saya sebagai 'WarJaki' yang artinya wartawan jalan kaki. Istilah ini umumnya diperuntukkan bagi jurnalis yang tidak mengendarai kendaraan pribadi juga yang setia berjalan kaki, lalu kemudian berdiri di pinggir jalan untuk menunggu transportasi angkutan umum yang hilir mudik sesuai tujuan.

Sejak dulu hingga kini saya tak juga berniat mengendarai kendaraan pribadi. Soal belajar mengendarai, sekali dua kali saya pernah juga belajar mengendarai sepeda motor. Namun masalahnya minimalisnya tinggi badan yang saya punyai membuat saya sulit untuk menguasai kendaraan roda dua seperti sepeda motor.

Setiap kali saya ditanya mengapa saya tidak mengendarai sepeda motor. Saya selalu menjawab, bukan karena tidak mau. Namun kaki saya yang tidak sampai. Jawaban ini sulit diterima oleh siapapun yang bertanya kepada saya.

Padahal saya juga menyertai alasan yang mendukung jawaban saya. Bahkan saya ajak para penanya untuk membayangkan ketika saya memaksakan diri mengendarai sepeda motor. Saya pinta mereka untuk membayangkan saat di lampu merah.

Apa yang harus saya lakukan? Mau tidak mau saya harus menurunkan seluruh badan saya bukan? agar bisa berpijak di bumi aspal sembari menahan sepeda motor yang keseimbangannya berasal dari tubuh saya.

Ketika itu saya lakukan, saya juga harus siap dengan belasan atau puluhan mata pengendara lain yang juga sedang berhenti di lampu merah. Mungkin menertawai saya, atau diam-diam cekikikan melihat tingkah saya.

Begitulah setiap kali saya mengungkapkan alasan ini, para penanya selalu berakhir dengan pingkalan-pingkalan tawa yang tiada henti. Tubuh saya termasuk pendek. Jadi mau bagaimana lagi.

Beberapa tahun belakangan gaung digitalisasi seperti menyadarkan dunia. Teknologi digital menyentuh segala hal yang berkaitan dengan kebutuhan manusia. Menyediakan apa saja yang serba mudah, cepat, dan tepat. Terpenting aman dan nyaman. Maka jutaan orang pun menyadarinya kemudian memanfaatkan teknologi digital itu. Termasuk saya pribadi.

Sejak dua tahun belakangan ini saya merupakan pengguna layanan jasa Grab. Mulai dari GrabRide, GrabCar, dan GrabFood. Mulanya ada perasaan tak nyaman ketika pertama kali menggunakan layanan GrabRide.

Maklumlah namanya juga tak kenal dengan sosok driver yang menjemput. Meskipun aplikasi #selalubisa membantu namun saat itu bagi saya kepercayaan di atas segala-galanya.

Saya menggunakan layanan #AplikasiUntukSemua ini di pelbagai momentum. Bahkan ketika harus hilir mudik dari lokasi yang satu ke lokasi yang lain, #SuperApp menjadi andalan saya.

Sejak dua tahun lalu sampai saat ini, rasanya belum pernah saya dikecewakan oleh penyedia layanan online satu ini. Satu-satunya yang mengecewakan saya adalah ketika baterai ponsel saya mengalami low batt, karena saya tidak bisa menggunakan #AplikasiUntukSemua ini.

Bahkan ketika hujan jatuh mengguyur Kota Medan, Grab #selalubisa menjemput dan mengantar saya. Sebetulnya ini yang membuat saya jatuh hati. Saya ingat betul, saat itu saya sedang dikejar deadline pekerjaan. Hujan jatuh begitu awet hari itu. Sejak sore bahkan hingga malam hujan tak juga enggan berhenti

 Saya tak pernah berpikir soal waktu, bahkan melirik jam pun tidak. Saya hanya fokus dengan pekerjaan, dengan target bahwa pekerjaan harus selesai malam itu juga. Memasuki bagian finishing touch pekerjaan, saat itulah saya tersadar untuk melihat ke arah jam. Pukul 22.00 WIB.

Saya bergegas dan lalu cepat-cepat keluar dari gedung kantor. Di luar sana hujan masih mewarnai langit yang gelap. Saat itu saya tidak begitu yakin jika ada #AplikasiUntukSemua Grab yang akan menyahuti permintaan saya.

Ternyata saya salah. Jawaban 'Oke, ditunggu ya kak' membuat saya menjadi semangat. Saya pikir, tak mengapa jika saya kehujanan. Terpenting ada yang mau mengantar saya pulang sampai ke rumah.

Syukurnya sang driver telah menyiapkan jas hujan khusus untuk penumpang. Saat itu saya sangat bersyukur. Meskipun tetap juga membuat kami basah. Tapi tak ada panggung untuk sebuah atau beberapa keluhan saat itu karen Grab #selalubisa mengatasi masalah saya.

Perjalanan sejauh 9,9 kilometer dari Jalan Jendral Ahmad Yani, Medan menuju Jalan Karya Wisata, Medan pun kami tempuh. Saat itu driver Grab #AplikasiuntukSemua ini memilih jalur lewat Jalan Pattimura, Medan untuk bisa terus menuju arah ke Padang Bulan, Medan.

Tiba di ujung jalan Pattimura, tepatnya pertigaan antara Jalan Mongonsidi dan Jalan Jamin Ginting Medan, ban sepeda motor terlihat kurang nyaman. Kami pun berhenti sejenak untuk mengisi angin ban yang tak nyaman.

Kebetulan di pinggir jalan yang tak jauh dari lampu merah pertigaan, ada jasa tambal/angin. Sang driver pun memohon maaf kepada saya atas ketidaknyamanan perjalanan. Lepas dari itu kendaraan roda dua itu pun meluncur mulus hingga tujuan.

Saya akui begitu banyak pengalaman yang saya peroleh selama menjadi pelanggan Grab #AplikasiUntukSemua ini. Di lain waktu saya banyak mendapat kisah-kisah hidup yang inspiratif dari para driver. Sebagai jurnalis tentu ini menjadi masukan yang positif, meluaskan pandangan tentang kehidupan, juga warna-warni tentang kisah manusia.

Selain mengandalkan Grab sebagai pengganti transportasi, #AplikasiUntukSemua ini juga #selalubisa mengatasi rasa lapar saya. Apalagi lokasi kantor saya berada di pusat kota Medan. Sehingga beragam kuliner tersedia di seputaran titik itu. Tinggal klik, kemudian tanpa menunggu waktu yang lama, makanan yang dipesan pun telah sampai. Khusus GrabFood #AplikasiUntukSemua ini menyediakan beragam diskon yang menarik. Bahkan saya sering diingatkan Grab agar jangan sampai telat makan.

Namun terlepas dari Grab #Selalubisa mengatasi rasa lapar saya, kini rekan seprofesi saya sudah jarang memanggil saya dengan ‘WarJaki’, tapi mereka menggantinya dengan istilah ‘WarGrab’. Malah setiap kali ada driver GrabRide yang berhenti di depan kantor, rekan-rekan selalu menghubung-hubungkannya dengan saya. Seolah-olah saya dan Grab selalu bersama. Eakkk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun