Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ayah, Algoritma, dan Anak yang Tumbuh Tanpa Pelukan

9 Oktober 2025   11:08 Diperbarui: 9 Oktober 2025   11:08 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ayah sibuk dengan layar ponsel yang mengabaikan anaknya. (Sumber: families.org.au/Freepik)

Sore itu, seorang anak kecil duduk di karpet ruang tamu dengan mainan kecil di tangannya. Ia menatap ayahnya yang duduk di sofa, matanya terpaku pada layar ponsel. 

Setiap kali ada notifikasi berbunyi, jemarinya refleks bergerak cepat. Sementara anak itu menunggu, tanpa tahu harus memulai percakapan atau sekadar menarik perhatian ayahnya yang seolah hidup di dunia lain.

Pemandangan seperti ini kini menjadi hal biasa di banyak rumah. Kita hidup di era di mana teknologi membuat segalanya lebih dekat, tetapi anehnya justru semakin jauh dari orang-orang terdekat. 

Ayah yang dulu dikenal sebagai sosok pelindung dan panutan kini sering hadir hanya sebagai bayangan di balik layar ponsel. Ia memang ada, tetapi kehadirannya terasa seperti suara yang bergema dari ruang kosong.

Di media sosial, ribuan unggahan tentang "fatherless" berseliweran setiap bulan. Berdasarkan data yang diolah oleh Litbang Kompas pada Juni 2025, dari hampir dua ribu konten media sosial yang menyinggung kata "ayah", lebih dari 700 di antaranya berkaitan dengan isu fatherless (Kompas.id). 

Fenomena ini bukan hanya soal anak-anak tanpa figur ayah karena perceraian atau kematian, melainkan juga tentang anak-anak yang tumbuh tanpa pelukan, meski sang ayah masih hidup dan tinggal serumah.

Anak-anak zaman sekarang tumbuh di tengah keluarga yang sibuk bekerja, dikelilingi oleh layar, dan terhubung dengan internet sejak dini. 

Ironisnya, mereka justru kehilangan kehangatan paling sederhana: waktu berbicara dari hati ke hati, sentuhan lembut, atau sekadar pelukan hangat sebelum tidur. Semua itu kini kalah cepat oleh algoritma yang tak pernah tidur.

Ayah di Era Algoritma

Dulu, hubungan ayah dan anak dibangun melalui kebersamaan yang nyata---menemani belajar, mengantar ke sekolah, atau bercerita sebelum tidur. Kini, hubungan itu perlahan berubah menjadi sekadar "like" di unggahan anak, komentar singkat di TikTok, atau emoji hati di status WhatsApp.

Teknologi memang memberikan kemudahan, tapi juga menciptakan jarak baru. Ayah yang dulu sibuk di kantor kini tetap "bekerja" bahkan setelah pulang ke rumah. 

Ada email yang harus dibalas, laporan yang harus dikirim, dan grup kerja yang selalu aktif hingga larut malam. Di sela-sela itu, anak-anak menunggu perhatian yang sering tertunda.

Seorang psikolog klinis, Syafira Putri dari Sorong, pernah mengatakan dalam wawancaranya dengan Kompas.id bahwa emosi sedih yang muncul dari unggahan tentang ayah di media sosial sering kali berasal dari "kesadaran akan kebutuhan terhadap figur ayah yang tidak pernah hadir dalam hidupnya." 

Kata-katanya sederhana, tetapi menampar kesadaran kita: banyak anak sebenarnya tidak benar-benar kehilangan ayah, tetapi kehilangan kehadirannya (Kompas.id).

Fenomena ini diperparah oleh budaya digital yang memuja efisiensi dan produktivitas. Setiap detik terasa berharga untuk dikejar, setiap momen harus bisa dibagikan. Tapi dalam kecepatan itulah, waktu bersama keluarga tergerus perlahan. 

Algoritma media sosial bahkan tahu kapan kita tertawa, kapan kita sedih, dan apa yang kita suka. Namun ia tidak pernah tahu kapan seorang anak terakhir kali dipeluk ayahnya.

Di sisi lain, ada pula ayah yang mencoba hadir melalui dunia digital. Mereka mengunggah foto-foto bersama keluarga, menulis status penuh kasih, atau membagikan kisah tentang anak-anaknya. 

Namun sering kali, itu hanyalah potongan realitas yang telah difilter. Di balik unggahan itu mungkin tersimpan kesepian, kelelahan, atau bahkan rasa bersalah karena tidak benar-benar punya waktu.

Menurut data Litbang Kompas, dari seluruh konten yang dianalisis tentang "fatherless", lebih dari separuhnya bernada netral. Artinya, masyarakat mulai terbiasa menganggap ketidakhadiran ayah di rumah sebagai sesuatu yang wajar (Kompas.id). 

Aktivitas ayah yang lebih banyak di luar rumah diterima begitu saja, seolah itu bagian dari peran sosial yang tidak bisa diubah. Namun di balik penerimaan itu, banyak anak yang tumbuh dengan celah emosional yang sulit dijelaskan---celah yang mungkin tidak akan pernah diisi oleh gawai, hiburan, atau materi.

Anak yang Tumbuh Tanpa Pelukan

Kita sering berpikir bahwa anak-anak yang kehilangan ayah hanyalah mereka yang orang tuanya bercerai atau meninggal. Padahal, banyak anak yang secara fisik memiliki ayah, tapi emosionalnya hidup sendirian. Mereka tidak tahu seperti apa rasanya dipeluk, dinasihati dengan sabar, atau sekadar diajak berbicara tanpa tergesa-gesa.

Seorang kreator digital bernama Faizah pernah membagikan kisahnya di Instagram tentang hubungannya dengan ayah yang "toksik". Ia tumbuh dalam rumah tangga yang penuh tuntutan dan tekanan. 

Dalam salah satu unggahannya, ia menulis: "Mungkin banyak anak perempuan yang punya sosok ayah yang abusive. Itu pasti membingungkan. Di satu sisi sayang, tapi di sisi lain takut." Kalimat itu menggambarkan betapa kompleks hubungan anak dan ayah di era sekarang---antara cinta, trauma, dan kerinduan akan sosok pelindung yang seharusnya hadir (Kompas.id).

Namun tidak semua kisah bernuansa gelap. Ada juga cerita seperti Milka, pelajar SMK di Semarang, yang mengunggah foto kebersamaannya dengan keluarga sebagai bentuk rasa syukur. Ayahnya bekerja di luar kota, tetapi selalu menyempatkan diri pulang setiap akhir pekan. 

Bagi Milka, jarak bukan halangan untuk merasa dekat. "Papa selalu datang kalau aku ikut lomba, bahkan sampai cuti," ujarnya. Di tengah jarak fisik, Milka masih bisa merasakan pelukan emosional yang utuh (Kompas.id).

Dua kisah itu memperlihatkan spektrum luas relasi ayah-anak masa kini. Ada yang kehilangan, ada yang masih memelihara kedekatan. Tapi di antara keduanya, ada jutaan anak lain yang berada di wilayah abu-abu: mereka tidak benar-benar kehilangan, tapi juga tidak sepenuhnya memiliki.

Kehilangan pelukan ayah bukan sekadar kehilangan sentuhan fisik, melainkan juga kehilangan bahasa emosional. Psikolog anak menyebut bahwa sentuhan memiliki peran besar dalam pembentukan rasa aman. 

Anak yang jarang dipeluk atau diajak berbicara cenderung sulit membangun kepercayaan diri. Mereka tumbuh dengan perasaan "tidak cukup", selalu mencari validasi dari luar. 

Inilah generasi yang kemudian menumpahkan kerinduannya di media sosial, menulis puisi untuk ayah yang tak pernah membaca, atau membuat video lucu untuk menutupi kekosongan emosional.

Dalam analisis Kompas mengenai konten media sosial bertema "ayah", ditemukan bahwa emosi "senang" dan "sedih" mendominasi. 

Dua kutub itu mencerminkan realitas ganda: di satu sisi ada cinta, di sisi lain ada luka. Kata "lucu" sering muncul berdampingan dengan "fatherless", menandakan ironi---banyak orang membicarakan kehilangan dengan tawa palsu. Mungkin karena lebih mudah tertawa daripada mengakui rindu yang tidak terjawab  (Kompas.id).

Kembali Menemukan Kehangatan

Namun semua ini bukan untuk menyalahkan para ayah. Dalam banyak kasus, mereka pun adalah korban dari sistem yang membentuk mereka. Laki-laki dibesarkan dengan tuntutan untuk menjadi kuat, bekerja keras, dan tidak menunjukkan emosi. 

Mereka tumbuh dalam budaya yang menilai keberhasilan dari seberapa besar penghasilan, bukan seberapa dalam pelukan. Maka ketika mereka dewasa dan menjadi ayah, banyak yang bingung bagaimana cara mengekspresikan kasih sayang. Mereka bisa membelikan mainan, tapi tidak tahu bagaimana mengucapkan "Aku bangga padamu."

Budaya kerja yang panjang juga turut memperparah keadaan. Banyak ayah harus berangkat pagi dan pulang larut malam demi memenuhi kebutuhan keluarga. 

Di perjalanan, mereka ditemani notifikasi pekerjaan, berita, dan hiburan digital yang terus menggoda perhatian. Tidak mudah bagi siapa pun untuk melawan arus algoritma yang didesain agar kita terus terpaku pada layar.

Tapi mungkin, seperti yang dikatakan Wihaji, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, dalam wawancaranya dengan Kompas pada Agustus 2025, "Kebutuhan psikologis anak patut diperhatikan. Ayah perlu memahami sikap dan perilaku dalam membangun relasi dengan anak." (Kompas.id).

Ucapan itu mengingatkan kita bahwa pengasuhan bukan hanya urusan ibu. Keterlibatan ayah adalah bagian dari pembangunan karakter bangsa, karena keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat.

Ada banyak cara sederhana bagi ayah untuk kembali "hadir" di tengah keluarga tanpa harus meninggalkan dunia digital. Makan malam tanpa gawai, membacakan buku sebelum tidur, atau sekadar mendengarkan cerita anak tentang harinya di sekolah sudah cukup berarti. Anak tidak membutuhkan ayah yang sempurna, hanya ayah yang mau mendengarkan.

Di era yang serba cepat ini, melambat justru menjadi bentuk keberanian. Keberanian untuk mematikan notifikasi, menatap mata anak, dan mengakui bahwa pelukan lebih penting daripada produktivitas. Di situlah makna sejati kehadiran seorang ayah diuji---bukan di seberapa banyak ia bekerja, tetapi seberapa dalam ia mau berhenti sejenak dan benar-benar hadir.

Antara Dunia Digital dan Dunia Nyata

Zaman memang berubah. Dunia digital memberi kemudahan, tapi juga menuntut kebijaksanaan. Kita bisa mencari informasi, berkomunikasi lintas jarak, bahkan mengekspresikan kasih sayang lewat layar. Namun tidak ada algoritma yang bisa menggantikan sentuhan, tatapan, dan pelukan hangat.

Anak-anak tidak akan mengingat seberapa banyak pesan motivasi yang ayah kirim di grup keluarga, tapi mereka akan selalu mengingat kapan terakhir kali ayah menepuk bahunya, memuji hasil gambarnya, atau sekadar menemaninya menonton kartun favorit.

Mungkin sudah waktunya para ayah mengubah algoritma pribadi mereka---bukan dengan kode dan notifikasi, tetapi dengan waktu dan kasih sayang. Pelan-pelan, tanpa paksaan. Karena hubungan manusia tidak bisa dioptimalkan dengan rumus digital. Ia hanya bisa tumbuh dengan kehadiran dan keikhlasan.

Suatu hari nanti, ketika anak-anak kita tumbuh dewasa, mereka mungkin tidak akan mengingat merek ponsel apa yang kita pakai, atau berapa banyak like yang kita dapatkan di media sosial. Tapi mereka akan selalu mengingat satu hal: pelukan ayah yang membuat dunia terasa aman.

Jadi, mungkin malam ini sebelum kembali menatap layar, cobalah menatap mata anak Anda sebentar. Peluk dia, dengarkan ceritanya, dan rasakan hangatnya. Karena algoritma bisa mengenali wajah anak kita, tetapi hanya pelukan ayah yang bisa membuatnya merasa ada.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun