Dalam salah satu unggahannya, ia menulis: "Mungkin banyak anak perempuan yang punya sosok ayah yang abusive. Itu pasti membingungkan. Di satu sisi sayang, tapi di sisi lain takut." Kalimat itu menggambarkan betapa kompleks hubungan anak dan ayah di era sekarang---antara cinta, trauma, dan kerinduan akan sosok pelindung yang seharusnya hadir (Kompas.id).
Namun tidak semua kisah bernuansa gelap. Ada juga cerita seperti Milka, pelajar SMK di Semarang, yang mengunggah foto kebersamaannya dengan keluarga sebagai bentuk rasa syukur. Ayahnya bekerja di luar kota, tetapi selalu menyempatkan diri pulang setiap akhir pekan.Â
Bagi Milka, jarak bukan halangan untuk merasa dekat. "Papa selalu datang kalau aku ikut lomba, bahkan sampai cuti," ujarnya. Di tengah jarak fisik, Milka masih bisa merasakan pelukan emosional yang utuh (Kompas.id).
Dua kisah itu memperlihatkan spektrum luas relasi ayah-anak masa kini. Ada yang kehilangan, ada yang masih memelihara kedekatan. Tapi di antara keduanya, ada jutaan anak lain yang berada di wilayah abu-abu: mereka tidak benar-benar kehilangan, tapi juga tidak sepenuhnya memiliki.
Kehilangan pelukan ayah bukan sekadar kehilangan sentuhan fisik, melainkan juga kehilangan bahasa emosional. Psikolog anak menyebut bahwa sentuhan memiliki peran besar dalam pembentukan rasa aman.Â
Anak yang jarang dipeluk atau diajak berbicara cenderung sulit membangun kepercayaan diri. Mereka tumbuh dengan perasaan "tidak cukup", selalu mencari validasi dari luar.Â
Inilah generasi yang kemudian menumpahkan kerinduannya di media sosial, menulis puisi untuk ayah yang tak pernah membaca, atau membuat video lucu untuk menutupi kekosongan emosional.
Dalam analisis Kompas mengenai konten media sosial bertema "ayah", ditemukan bahwa emosi "senang" dan "sedih" mendominasi.Â
Dua kutub itu mencerminkan realitas ganda: di satu sisi ada cinta, di sisi lain ada luka. Kata "lucu" sering muncul berdampingan dengan "fatherless", menandakan ironi---banyak orang membicarakan kehilangan dengan tawa palsu. Mungkin karena lebih mudah tertawa daripada mengakui rindu yang tidak terjawab  (Kompas.id).
Kembali Menemukan Kehangatan
Namun semua ini bukan untuk menyalahkan para ayah. Dalam banyak kasus, mereka pun adalah korban dari sistem yang membentuk mereka. Laki-laki dibesarkan dengan tuntutan untuk menjadi kuat, bekerja keras, dan tidak menunjukkan emosi.Â
Mereka tumbuh dalam budaya yang menilai keberhasilan dari seberapa besar penghasilan, bukan seberapa dalam pelukan. Maka ketika mereka dewasa dan menjadi ayah, banyak yang bingung bagaimana cara mengekspresikan kasih sayang. Mereka bisa membelikan mainan, tapi tidak tahu bagaimana mengucapkan "Aku bangga padamu."