Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Pilihan

"Mardang" dalam Sistem Pertanian Tradisional Pakpak di Tengah Krisis Ketahanan Pangan Modern

7 Oktober 2025   16:42 Diperbarui: 7 Oktober 2025   16:42 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Padahal, seperti yang disarankan dalam beberapa kajian ketahanan pangan, diversifikasi pangan lokal dan sumber pangan dari komunitas sangat penting (ANTARA).

Untuk Mardang bertahan, perlu adaptasi: misalnya mengintegrasikan teknologi sederhana (alat tangan atau semi-mekanis), pelibatan generasi muda lewat pendidikan budaya, dokumentasi praktik-praktik lokal agar nilai-nilai dan cara kerja tidak hilang, serta dukungan dari kebijakan lokal agar ada insentif atau pengakuan terhadap praktik-praktik gotong royong pertanian tradisional.

Harapan dan langkah ke depan: Menguatkan Mardang sebagai bagian dari solusi

Mempertahankan Mardang bukan soal nostalgia semata. Ia bisa menjadi bagian nyata dari solusi untuk ketahanan pangan: sebagai model pertanian berbasis komunitas yang inklusif, yang tak hanya memproduksi tetapi juga membangun modal sosial, menjaga kearifan lokal dan keanekaragaman budaya dan tanaman.

Pemerintah daerah bisa mengambil peran dengan memberikan subsidi bagi kelompok petani yang melaksanakan Mardang, akses terhadap pasar lokal, serta pengakuan adat yang formal agar makin diperhatikan. 

Sekolah dan institusi pendidikan bisa memperkenalkan Mardang dalam pelajaran budaya atau kewirausahaan sosial agar generasi muda memahami bahwa menjaga alam dan bekerja sama adalah bagian dari identitas mereka sendiri.

Komunitas juga bisa merekam praktik Mardang, menceritakan kembali pengalaman leluhur kepada anak-anak, melakukan pertemuan antar generasi untuk memperkuat nilai gotong royong, serta berinovasi agar Mardang tetap bisa berjalan ketika musim tanam terganggu misalnya karena kekeringan atau banjir. 

Mereka bisa menyusun jadwal yang fleksibel, mengatur sistem cadangan pangan lokal, atau membuat koperasi kecil yang menopang kebutuhan benih dan pupuk.

Kesimpulan

Di tengah pergolakan zaman --- krisis iklim, fluktuasi harga, dan tantangan ketahanan pangan --- Mardang bukan hanya kenangan, tetapi sumber inspirasi dan strategi yang masih sangat diperlukan. 

Tradisi Pakpak yang menggabungkan doa, kerja bersama, dan solidaritas lintas generasi menunjukkan bahwa ketahanan pangan tidak hanya soal produksi, tapi soal bagaimana manusia bekerja sama, saling menopang, dan menjaga akar budaya.

Semoga Mardang tidak dilupakan, melainkan dirawat dan diperkuat --- bukan sebagai beban adat, tetapi sebagai kekuatan hidup yang nyata, agar di ladang-ladang Pakpak dan di seluruh nusantara kita bisa terus menanam tidak hanya padi, tetapi juga harapan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun