Indonesia, sebagaimana negara-negara agraris lainnya, mengalami tekanan yang makin berat terkait penyediaan dan stabilitas pangan. Krisis iklim menyebabkan cuaca ekstrem, kekeringan, atau hujan yang tak menentu, yang mempengaruhi produktivitas padi dan tanaman pangan lainnya.Â
Kompas.id melaporkan bahwa perubahan iklim potensial menurunkan produksi padi di beberapa wilayah hingga jutaan ton, sementara lahan pertanian tradisional juga terancam karena kekeringan (Kompas.id).
Selain itu, masalah impor pangan, fluktuasi harga pupuk, dan logistik distribusi yang masih lemah makin memperlihatkan bahwa ketahanan pangan bukan hanya soal memproduksi cukup, tapi juga tentang menjaga keberlanjutan sistem pertanian kecil dan tradisional.
Dalam banyak kasus, petani kecil tak memiliki akses penuh ke alat modern atau modal besar; mereka kelebihan risiko ketika terjadi gangguan, seperti kenaikan harga pupuk atau transportasi.
Dalam konteks itulah Mardang menjadi sangat relevan. Karena melalui gotong royong, petani bisa mengurangi biaya tenaga kerja, mempercepat pengerjaan lahan, dan memupuk solidaritas yang memungkinkan berbagi risiko.Â
Tradisi seperti ini menyediakan jaring pengaman sosial yang tak terlihat dalam statistik nasional, tapi sangat terasa dalam kehidupan nyata.
Tantangan modern: Apakah Mardang mampu bertahan dan beradaptasi?
Walau Mardang punya banyak kelebihan, bukan berarti tradisi ini tak menghadapi tantangan. Modernisasi, urbanisasi, dan migrasi penduduk muda ke kota membuat banyak tenaga kerja tradisional berkurang.Â
Generasi muda kadang kurang tertarik ikut kerja di sawah, lebih memilih pekerjaan yang menawarkan pendapatan cepat atau nyaman.
Teknologi pertanian modern dengan alat berat makin menggantikan tenaga manusia. Di satu sisi hal ini efisien, tetapi juga dapat membuat kerja tradisional ikut tergilas jika nilai sosial dan kulturalnya tidak diperhitungkan.Â
Juga, perubahan pola hidup dan konsumsi: pangan modern, makanan instan, serta nilai materialisme dapat mengurangi rasa urgensi untuk tetap menjaga tradisi komunitas seperti Mardang.
Sementara itu, kebijakan pemerintah seringkali lebih fokus pada skala besar: subsidi pupuk, pangan pokok, produksi massal, pembangunan irigasi modern, dan ekspor impor. Kurang banyak yang diarahkan kepada penguatan tradisi lokal dan praktik-praktik agraris yang bersifat komunitas.Â