Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Pilihan

"Mardang" dalam Sistem Pertanian Tradisional Pakpak di Tengah Krisis Ketahanan Pangan Modern

7 Oktober 2025   16:42 Diperbarui: 7 Oktober 2025   16:42 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Mardang. (Sumber: Tangkap layar Youtub Channel Anak  Siakkangan)

Musim tanam tiba di lereng pegunungan, udara masih dingin di pagi hari, embun melekat di daun padi yang baru ditebar. Anak-anak ikut bergelung dalam kabut pagi sambil membawa cangkul kecil, perempuan membawa anyaman bambu berisi nasi liwet dan sayur tempoyak sebagai bekal. 

Di ladang-ladang Pakpak, suasana demikian bukan hanya soal menanam padi darat --- namun tentang kebersamaan, doa, dan penghidupan bersama yang dinamakan Mardang.

Di tengah kenyataan bahwa ketahanan pangan di Indonesia dan dunia semakin terancam oleh perubahan iklim, krisis distribusi, kenaikan biaya pupuk, dan hilangnya lahan pertanian yang subur, "Mardang" tampil sebagai sebuah kearifan lokal yang punya relevansi mendalam. 

Tradisi yang melibatkan laki-laki dewasa, perempuan dewasa, dan anak-anak ini bukan sekadar ritual budaya, tetapi juga mekanisme sosial yang selama puluhan hingga ratusan tahun menyokong keberlangsungan pangan di komunitas Pakpak. 

Artikel ini mencoba menggali makna Mardang, bagaimana tradisi itu bekerja dalam sistem pertanian tradisional Pakpak, serta potensinya sebagai bagian dari solusi dalam masa krisis ketahanan pangan modern.

Masa lalu dan hakekat Mardang: Lahan, doa, dan kebersamaan

Di suku Pakpak, Mardang bukan hanya gotong royong biasa. Ia bermula dari pengolahan tanah, penanaman padi darat, dilakukan bersama-sama sanak famili, tetangga, anak-anak, perempuan dan laki-laki penuh tanggung jawab. 

Ritual adat selalu mendahului: doa untuk hujan yang cukup, tanah yang subur, minta perlindungan dari hama dan cuaca buruk. Setelah bekerja, pemilik lahan akan menyediakan makanan khas sebagai bentuk syukur dan penghormatan terhadap sesama yang ikut serta.

Keterlibatan lintas usia dan gender di acara Mardang memiliki fungsi ganda. Fungsinya sosial: mempererat ikatan antar keluarga dan antar tetangga, memperkuat rasa saling memiliki dan saling bantu. 

Fungsinya praktis: beban kerja yang berat jadi ringan, masa tanam lebih cepat selesai dengan usaha bersama.

Walau belum banyak dibukukan secara sistematis dalam literatur akademik, butir-butir nilai ini jelas mirip dengan apa yang dikaji dalam kajian ketahanan pangan: bukan hanya kuantitas produksi, tetapi juga kapasitas komunitas untuk bertahan, mengorganisasi diri dalam kondisi sulit, mempertahankan kearifan lokal sebagai modal sosial.

Krisis ketahanan pangan: apa yang membuat tradisi seperti Mardang makin penting

Indonesia, sebagaimana negara-negara agraris lainnya, mengalami tekanan yang makin berat terkait penyediaan dan stabilitas pangan. Krisis iklim menyebabkan cuaca ekstrem, kekeringan, atau hujan yang tak menentu, yang mempengaruhi produktivitas padi dan tanaman pangan lainnya. 

Kompas.id melaporkan bahwa perubahan iklim potensial menurunkan produksi padi di beberapa wilayah hingga jutaan ton, sementara lahan pertanian tradisional juga terancam karena kekeringan (Kompas.id).

Selain itu, masalah impor pangan, fluktuasi harga pupuk, dan logistik distribusi yang masih lemah makin memperlihatkan bahwa ketahanan pangan bukan hanya soal memproduksi cukup, tapi juga tentang menjaga keberlanjutan sistem pertanian kecil dan tradisional.

Dalam banyak kasus, petani kecil tak memiliki akses penuh ke alat modern atau modal besar; mereka kelebihan risiko ketika terjadi gangguan, seperti kenaikan harga pupuk atau transportasi.

Dalam konteks itulah Mardang menjadi sangat relevan. Karena melalui gotong royong, petani bisa mengurangi biaya tenaga kerja, mempercepat pengerjaan lahan, dan memupuk solidaritas yang memungkinkan berbagi risiko. 

Tradisi seperti ini menyediakan jaring pengaman sosial yang tak terlihat dalam statistik nasional, tapi sangat terasa dalam kehidupan nyata.

Tantangan modern: Apakah Mardang mampu bertahan dan beradaptasi?

Walau Mardang punya banyak kelebihan, bukan berarti tradisi ini tak menghadapi tantangan. Modernisasi, urbanisasi, dan migrasi penduduk muda ke kota membuat banyak tenaga kerja tradisional berkurang. 

Generasi muda kadang kurang tertarik ikut kerja di sawah, lebih memilih pekerjaan yang menawarkan pendapatan cepat atau nyaman.

Teknologi pertanian modern dengan alat berat makin menggantikan tenaga manusia. Di satu sisi hal ini efisien, tetapi juga dapat membuat kerja tradisional ikut tergilas jika nilai sosial dan kulturalnya tidak diperhitungkan. 

Juga, perubahan pola hidup dan konsumsi: pangan modern, makanan instan, serta nilai materialisme dapat mengurangi rasa urgensi untuk tetap menjaga tradisi komunitas seperti Mardang.

Sementara itu, kebijakan pemerintah seringkali lebih fokus pada skala besar: subsidi pupuk, pangan pokok, produksi massal, pembangunan irigasi modern, dan ekspor impor. Kurang banyak yang diarahkan kepada penguatan tradisi lokal dan praktik-praktik agraris yang bersifat komunitas. 

Padahal, seperti yang disarankan dalam beberapa kajian ketahanan pangan, diversifikasi pangan lokal dan sumber pangan dari komunitas sangat penting (ANTARA).

Untuk Mardang bertahan, perlu adaptasi: misalnya mengintegrasikan teknologi sederhana (alat tangan atau semi-mekanis), pelibatan generasi muda lewat pendidikan budaya, dokumentasi praktik-praktik lokal agar nilai-nilai dan cara kerja tidak hilang, serta dukungan dari kebijakan lokal agar ada insentif atau pengakuan terhadap praktik-praktik gotong royong pertanian tradisional.

Harapan dan langkah ke depan: Menguatkan Mardang sebagai bagian dari solusi

Mempertahankan Mardang bukan soal nostalgia semata. Ia bisa menjadi bagian nyata dari solusi untuk ketahanan pangan: sebagai model pertanian berbasis komunitas yang inklusif, yang tak hanya memproduksi tetapi juga membangun modal sosial, menjaga kearifan lokal dan keanekaragaman budaya dan tanaman.

Pemerintah daerah bisa mengambil peran dengan memberikan subsidi bagi kelompok petani yang melaksanakan Mardang, akses terhadap pasar lokal, serta pengakuan adat yang formal agar makin diperhatikan. 

Sekolah dan institusi pendidikan bisa memperkenalkan Mardang dalam pelajaran budaya atau kewirausahaan sosial agar generasi muda memahami bahwa menjaga alam dan bekerja sama adalah bagian dari identitas mereka sendiri.

Komunitas juga bisa merekam praktik Mardang, menceritakan kembali pengalaman leluhur kepada anak-anak, melakukan pertemuan antar generasi untuk memperkuat nilai gotong royong, serta berinovasi agar Mardang tetap bisa berjalan ketika musim tanam terganggu misalnya karena kekeringan atau banjir. 

Mereka bisa menyusun jadwal yang fleksibel, mengatur sistem cadangan pangan lokal, atau membuat koperasi kecil yang menopang kebutuhan benih dan pupuk.

Kesimpulan

Di tengah pergolakan zaman --- krisis iklim, fluktuasi harga, dan tantangan ketahanan pangan --- Mardang bukan hanya kenangan, tetapi sumber inspirasi dan strategi yang masih sangat diperlukan. 

Tradisi Pakpak yang menggabungkan doa, kerja bersama, dan solidaritas lintas generasi menunjukkan bahwa ketahanan pangan tidak hanya soal produksi, tapi soal bagaimana manusia bekerja sama, saling menopang, dan menjaga akar budaya.

Semoga Mardang tidak dilupakan, melainkan dirawat dan diperkuat --- bukan sebagai beban adat, tetapi sebagai kekuatan hidup yang nyata, agar di ladang-ladang Pakpak dan di seluruh nusantara kita bisa terus menanam tidak hanya padi, tetapi juga harapan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun