Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Membiasakan Diri Menghadapi Sugar Coating di Birokrasi ASN

7 Oktober 2025   09:01 Diperbarui: 9 Oktober 2025   10:29 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sugar coating di birokrasi ASN. (Sumber: lolwot.com/Freepik) 

Ada kalanya kita merasa bahwa suasana kerja di kantor pemerintahan itu sangat manis---terlalu manis. Setiap perkataan terasa sebagai pujian, setiap laporan dibalut dengan embel-embel "Alhamdulillah", "Terima kasih banyak", "Saya menghargai usaha Ibu/Bapak", bahkan ketika hasilnya belum sepenuhnya memuaskan. 

Manisnya sampai terasa lengket. Dan seringkali kita bertanya-tanya: apakah ini sekadar sopan santun? Ataukah ada sesuatu di balik keindahan kalimat yang sedemikian halusnya itu?

Fenomena ini bisa disebut sugar coating---ketika kata-kata manis atau basa-basi dipakai untuk menyamarkan rasa takut, ketidakberanian mengkritik, atau menjaga agar suasana tetap "aman". 

Di birokrasi ASN, sugar coating bisa menjadi budaya yang hampir tak terelakkan karena struktur hierarki yang kuat, norma sosial yang tinggi, dan keharusan menjaga citra diri di depan atasan maupun rekan kerja. 

Namun, jika tidak dikendalikan, kultur sugar coating dapat membawa dampak yang merugikan---bukan hanya bagi seorang ASN, tapi bagi organisasi secara keseluruhan.

Di artikel ini saya mencoba menggali bagaimana sugar coating tumbuh subur di lingkungan birokrasi ASN, mengapa kita perlu membiasakan diri menghadapi itu, dan bagaimana cara melakukannya agar kita tetap memiliki integritas dan ketenangan batin.

Asal-Usul Sugar Coating

Untuk memahami mengapa sugar coating menjadi sesuatu yang "normal" di birokrasi ASN, pertama-tama kita perlu melihat faktor budaya komunikasi di Indonesia. Komunikasi di negara kita cenderung memakai pendekatan high-context, di mana banyak hal disampaikan melalui isyarat, tidak langsung, dan sangat memperhatikan keharmonisan. 

Kritik langsung dianggap kasar, menyinggung, atau membuat suasana tidak nyaman. Rasa sungkan, segan, takut mengecewakan atasan atau dianggap tidak loyal menjadi penghalang agar kita tidak jujur secara terbuka. 

Dalam penelitian budaya organisasional birokrasi, ditemukan istilah seperti pakewuh atau rasa tidak enak bila harus menyampaikan sesuatu yang mungkin dianggap negatif terhadap pimpinan (Undip E-Journal).

Struktur hierarki di ASN memperkuat kebiasaan ini. Atasan adalah referensi otoritas yang tinggi, bawahan diharapkan untuk menaati, mendukung, bahkan kadang menyamankan perasaan atasan agar tidak ada gesekan. 

Jika kritik dilontarkan, ada risiko dianggap sebagai provokasi, konflik interpersonal, atau bahkan dianggap merusak suasana kolektif. 

Ketidaksetaraan dalam hubungan kekuasaan membuat bawahan sering memilih berkata manis atau menyetujui secara verbal meskipun batin meragukan. 

Selain itu, sistem promosi dan penilaian kinerja kadang tidak hanya berdasarkan prestasi, tapi juga persepsi --- bagaimana "kesan" kita di mata atasan. Dalam konteks ini, mampu berbicara manis dan menjaga suasana menjadi aset yang dianggap penting.

Budaya birokrasi yang mengutamakan etika komunikasi formal, protokoler, dan sopan santun, juga turut memperkuat sugar coating. Tidak semua orang punya ruang atau keberanian untuk menyuarakan ketidakpuasan; bukan karena mereka tidak punya ide atau kritik, tapi karena takut dianggap tidak sopan, tidak profesional, atau bahkan tidak berterima kasih atas kesempatan yang sudah diberikan. 

Padahal, komunikasi yang terlalu penuh lapisan manis bisa menyembunyikan masalah nyata yang membutuhkan solusi, bukan hanya ucapan pujian.

Dampak Sugar Coating

Manis memang terasa nyaman, tetapi jika tiap komunikasi dibungkus gula, maka kadang informasi penting tenggelam. Kesalahan-kesalahan kritis yang seharusnya diperbaiki bisa tidak tersentuh karena semua "baik-baik saja". 

Mayoritas orang memilih diam dan tersenyum, padahal dalam pikiran sudah banyak kekhawatiran dan ketidakpuasan. Ini memicu ketidakjelasan, kebingungan, dan potensi kesalahan yang terus berulang.

Organisasi jadi kehilangan umpan balik yang murni. Tanpa kritik konstruktif dan keberanian menyuarakan apa yang kurang, birokrasi bisa menjadi stagnan. 

Inovasi sulit muncul karena perasaan bahwa segala sesuatu harus disetujui atau minimal tidak bertentangan dengan opini pejabat/pimpinan. 

Akibatnya, banyak kebijakan atau prosedur hanya "jalan di tempat"---tidak berkembang sesuai kebutuhan masyarakat, tidak adaptif terhadap perubahan zaman, padahal tuntutan publik dan teknologi terus berubah.

Di sisi personal, ASN yang terbiasa dengan sugar coating mungkin akan merasa bahwa kejujuran adalah sesuatu yang berbahaya. Selalu harus menjaga kata-kata, menghitung konsekuensi, takut bersuara.

"Manis" menjadi semacam pelindung. Namun, pelindung itu juga membatasi. Batas antara apa yang benar dan apa yang nyaman menjadi kabur. 

ASN yang jujur dan berani menyampaikan ide atau kritik dengan etis bisa dianggap "bermasalah" atau kurang loyal. Individu bisa merasa terjebak antara keinginan untuk integritas dan kebutuhan untuk aman dalam karier.

Selain itu, budaya sugar coating juga bisa menimbulkan kecemasan kronis. Semua orang selalu berhati-hati memilih kata, takut salah persepsi, dan sering kali merasa bahwa suasana yang aslinya jujur dan terbuka telah digantikan oleh pesta basa-basi. 

Reputasi pun bisa jadi lebih penting daripada penyelesaian masalah. Maka, akhirnya, walaupun lingkungan tampak "manis", suasana kerja bisa terasa seperti ruang sandiwara.

Membiasakan Diri dalam Kejujuran yang Santun

Tantangannya adalah: bagaimana kita bisa hidup di dalam kultur yang manis tetapi tetap mempertahankan suara kejujuran dan integritas, tanpa menjadi "kasar" atau dianggap tidak paham sopan santun? Ada beberapa cara yang bisa dilatih.

Pertama, melatih diri untuk memahami konteks: kapan suasana benar-benar membutuhkan kejujuran yang eksplisit, dan kapan kehalusan dalam penyampaian lebih efektif. Tidak semua kritik harus dilempar ke udara terbuka, mungkin dalam rapat tertutup dulu, atau melalui jalur formal. 

Namun kunci pentingnya adalah tidak membiarkan kritik atau pendapat tenggelam oleh rasa takut atau ketidaknyamanan. Kejujuran yang dihargai bukan hanya kejujuran yang konfrontatif, tapi kejujuran yang disampaikan dengan kecerdasan. 

Berani bertanya ketika ada ketidakjelasan, menawarkan solusi bukan sekadar masalah, dan memilih bahasa yang tidak menyalahkan tetapi membangun.

Kedua, memperkuat budaya dialog di birokrasi. Sebagaimana disebut dalam diskusi tentang etika komunikasi birokrasi Provinsi Jawa Timur, komunikasi yang transparan, kolaboratif, dan partisipatif sangat dibutuhkan (PR INDONESIA). 

Jika bawahan merasa didengarkan, dan jika atasan memberi sinyal bahwa pendapat selain yang biasanya terdengar juga dihargai, maka suasana "manis tapi asli" bisa tercipta. Membuka ruang diskusi informal, mendengar masukan yang berbeda, merespons kritik secara terbuka namun tetap sopan, akan membantu mengurangi kebutuhan sugar coating.

Ketiga, membangun integritas pribadi sebagai fondasi. Dengan memiliki standar moral dan profesional, seseorang bisa memilih untuk tidak ikut bermain dalam manis-manisan tanpa kebenaran. 

Ketika kita sadar bahwa integritas kita penting bukan hanya karena penilaian orang lain, tetapi karena harga diri dan efektivitas kerja kita sendiri. 

Kita tidak perlu menjadi pembangkang, tetapi bisa jadi agen perubahan kecil dalam tiap interaksi: menyampaikan umpan balik secara jujur, mengakui kelemahan proyek atau laporan yang kita buat, mengajak rekan untuk refleksi bersama.

Keempat, memanfaatkan regulasi, etika organisasi, dan kode etik sebagai pegangan. ASN memiliki aturan-aturan formal yang mengatur perilaku, komunikasi, dan kode etik. 

Misalnya, Peraturan Menteri PAN-RB tentang etika komunikasi, regulasi terkait pemberdayaan aspirasi, nilai budaya kerja, dan integritas. 

Dengan menunjuk aturan formal ini, kejujuran bukan dilihat sebagai tindakan yang melanggar kesopanan, melainkan sebagai bagian dari tugas dan profesionalitas.

Atasan dan pemimpin struktural perlu memberi contoh---ketika seorang pemimpin menerima kritik dengan sikap terbuka, saat ia menunjukkan bahwa kejujuran dihargai, maka bawahan yang selama ini terbiasa sugar coating akan perlahan merasa bahwa keberanian untuk berbicara jujur juga mendatangkan penghargaan, bukan hukuman.

Menjaga Keaslian Tanpa Mengabaikan Kesopanan

Menyimpulkan bahwa sugar coating itu buruk bukan berarti kita harus menjadi keras, kasar, atau "blunt" tanpa pertimbangan. Kesopanan tetap penting, tetapi harus dipahami bahwa kesopanan bukanlah topeng untuk menyembunyikan masalah. 

Keaslian dalam komunikasi berarti menggabungkan rasa hormat dengan keberanian, menggunakan bahasa yang lembut tapi tidak membohongi keadaan.

Kita bisa menanam benih budaya komunikasi yang sehat di lingkungan kerja ASN. Bila satu orang mulai berbicara jujur dengan santun, bertanggung jawab atas apa yang ia sampaikan, maka efeknya bisa merambat. 

Rapat-rapat bisa menjadi lebih produktif jika peserta bukan hanya setuju karena takut, melainkan setuju karena memahami masalah, risiko, dan alternatif solusi. Hubungan kerja bisa menjadi lebih ringan jika tidak selalu terbungkus formalitas yang menahan jiwa kreatif.

Akhirnya, "manis" dalam arti kesopanan dan saling menghargai tetaplah baik. Tetapi manis yang berlebihan, yang dipaksakan, yang membuat kita kehilangan diri sendiri dan menyembunyikan realitas, harus kita hadapi. 

Membiasakan diri menghadapi sugar coating bukan berarti menjadi orang yang suka konflik, melainkan menjadi orang yang mampu menjaga integritas dalam kebersamaan. Menjadi ASN yang sopan, lembut, dan juga jujur; bukan hanya "manis di bibir", tapi "bermakna di tindakan". 

Semoga birokrasi kita tidak hanya harum di luar, tetapi bersih dan sehat dari dalam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun