"Manis" menjadi semacam pelindung. Namun, pelindung itu juga membatasi. Batas antara apa yang benar dan apa yang nyaman menjadi kabur.Â
ASN yang jujur dan berani menyampaikan ide atau kritik dengan etis bisa dianggap "bermasalah" atau kurang loyal. Individu bisa merasa terjebak antara keinginan untuk integritas dan kebutuhan untuk aman dalam karier.
Selain itu, budaya sugar coating juga bisa menimbulkan kecemasan kronis. Semua orang selalu berhati-hati memilih kata, takut salah persepsi, dan sering kali merasa bahwa suasana yang aslinya jujur dan terbuka telah digantikan oleh pesta basa-basi.Â
Reputasi pun bisa jadi lebih penting daripada penyelesaian masalah. Maka, akhirnya, walaupun lingkungan tampak "manis", suasana kerja bisa terasa seperti ruang sandiwara.
Membiasakan Diri dalam Kejujuran yang Santun
Tantangannya adalah: bagaimana kita bisa hidup di dalam kultur yang manis tetapi tetap mempertahankan suara kejujuran dan integritas, tanpa menjadi "kasar" atau dianggap tidak paham sopan santun? Ada beberapa cara yang bisa dilatih.
Pertama, melatih diri untuk memahami konteks: kapan suasana benar-benar membutuhkan kejujuran yang eksplisit, dan kapan kehalusan dalam penyampaian lebih efektif. Tidak semua kritik harus dilempar ke udara terbuka, mungkin dalam rapat tertutup dulu, atau melalui jalur formal.Â
Namun kunci pentingnya adalah tidak membiarkan kritik atau pendapat tenggelam oleh rasa takut atau ketidaknyamanan. Kejujuran yang dihargai bukan hanya kejujuran yang konfrontatif, tapi kejujuran yang disampaikan dengan kecerdasan.Â
Berani bertanya ketika ada ketidakjelasan, menawarkan solusi bukan sekadar masalah, dan memilih bahasa yang tidak menyalahkan tetapi membangun.
Kedua, memperkuat budaya dialog di birokrasi. Sebagaimana disebut dalam diskusi tentang etika komunikasi birokrasi Provinsi Jawa Timur, komunikasi yang transparan, kolaboratif, dan partisipatif sangat dibutuhkan (PR INDONESIA).Â
Jika bawahan merasa didengarkan, dan jika atasan memberi sinyal bahwa pendapat selain yang biasanya terdengar juga dihargai, maka suasana "manis tapi asli" bisa tercipta. Membuka ruang diskusi informal, mendengar masukan yang berbeda, merespons kritik secara terbuka namun tetap sopan, akan membantu mengurangi kebutuhan sugar coating.
Ketiga, membangun integritas pribadi sebagai fondasi. Dengan memiliki standar moral dan profesional, seseorang bisa memilih untuk tidak ikut bermain dalam manis-manisan tanpa kebenaran.Â