"Selesai input e-office, lanjut jadi content creator, Bang."
Kalimat itu diucapkan dengan nada santai oleh seorang ASN muda saat rehat makan siang. Bukan sekadar bercanda, itu mencerminkan wajah baru birokrasi hari ini---dimana pekerja pemerintah generasi muda menjalani peran ganda: pegawai negeri dan bagian dari gig economy.
Fenomena ini tumbuh diam-diam namun merata. Banyak ASN muda kini tak hanya bergelut dengan tugas administratif, tapi juga aktif sebagai fotografer, penulis lepas, reseller online, bahkan menjadi influencer. Bukan karena tidak serius sebagai ASN, tetapi karena ruang ekonomi dan ekspresi yang disediakan dunia digital begitu terbuka dan menggoda.
Di sinilah dilema muncul: apakah keterlibatan ASN muda dalam gig economy menjadi bentuk inovasi zaman atau justru bentuk pelarian dari kejenuhan birokrasi yang kaku? Apakah ini peluang untuk memperkuat kapasitas personal, atau justru ancaman bagi netralitas dan dedikasi ASN?
Istilah gig economy merujuk pada sistem ekonomi berbasis proyek jangka pendek atau pekerjaan lepas yang biasanya fleksibel, berbasis platform digital, dan tidak terikat waktu tetap. Model ini berkembang pesat seiring tren ekonomi digital, terutama pasca-pandemi COVID-19.
Di Indonesia, menurut Bank Dunia (2023), sektor gig diprediksi akan mencakup lebih dari 10 juta pekerja informal digital dalam beberapa tahun ke depan. Sektor ini tumbuh karena daya tarik fleksibilitas dan imbalan finansial yang, kadang, lebih besar dari gaji tetap.
Dalam konteks ASN, keterlibatan dalam pekerjaan luar seperti ini menimbulkan pro dan kontra. Secara personal, tentu ada banyak manfaat. ASN muda bisa mengembangkan kreativitas, mendapatkan tambahan penghasilan, hingga memperluas jaringan sosial dan profesional.
Namun dari sisi profesionalisme, muncul kekhawatiran: apakah ASN masih dapat menjalankan tugasnya secara penuh dan berintegritas jika waktu dan perhatiannya terpecah ke banyak arah? Apalagi jika pekerjaan sampingan itu tidak dilaporkan atau berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Perlu dicatat, ASN bukan sekadar pekerja. Ia adalah wajah negara di hadapan rakyat. Dalam UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara, disebutkan bahwa ASN harus netral, profesional, dan fokus pada pelayanan publik.
Pasal 9 ayat (2) huruf c UU ASN menegaskan bahwa "ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik." Tapi bagaimana jika ASN menjadi influencer dengan konten politis? Atau menjadi buzzer lepas dengan orientasi bayaran?