Ini bukan kekhawatiran kosong. Di media sosial, kita sudah menemukan beberapa ASN yang menjadi content creator yang aktif menyuarakan dukungan terhadap kelompok tertentu, atau mempromosikan produk dengan gaya promosi agresif. Apakah ini tidak mencoreng etika ASN?
Apalagi banyak ASN muda yang mengeluhkan rendahnya kesejahteraan, lambatnya jenjang karier, dan rutinitas kerja yang kaku. Gig economy menjadi pelarian yang menyegarkan. Tapi apakah solusi ini jangka panjang atau sekadar bentuk kompromi personal?
Dalam studi LIPI (2019), ditemukan bahwa lebih dari 60% ASN merasa tidak puas dengan jenjang karier dan kejelasan prestasi kerja. Hal ini memperkuat dugaan bahwa motivasi utama banyak ASN terjun ke gig economy adalah karena stagnasi dalam sistem birokrasi.
Namun tentu tidak adil jika kita langsung menyalahkan ASN yang punya kegiatan sampingan. Banyak dari mereka justru menjadi lebih produktif dan terbuka secara mental karena kegiatan luar tersebut. Ini membuktikan bahwa ASN bukanlah manusia satu dimensi.
Yang menjadi masalah adalah jika kegiatan itu mulai menyita waktu kerja, mengganggu pelayanan, atau memperlemah loyalitas terhadap tugas negara. Di titik ini, perlu ada pedoman yang jelas dan tegas, bukan larangan total yang kaku.
Sayangnya, peraturan tentang ini masih kabur. Tidak ada aturan tegas dari Kementerian PANRB atau BKN yang mengatur keterlibatan ASN dalam kegiatan ekonomi digital. Ini menciptakan ruang abu-abu yang mudah disalahgunakan.
ASN seharusnya melaporkan setiap kegiatan di luar kedinasan yang berpotensi menghasilkan pendapatan. Namun, praktik ini jarang dilakukan. Bahkan, atasan pun sering menutup mata selama kinerja formal ASN itu terlihat baik.
Apakah ini pertanda bahwa kita butuh birokrasi yang lebih manusiawi? Yang memahami kebutuhan ekspresi, aktualisasi, dan kemandirian ekonomi ASN muda? Jawabannya: ya. Tapi pemahaman itu tetap harus diiringi dengan etika dan pengawasan.
Mengubah pendekatan terhadap ASN muda tidak cukup hanya dengan melarang mereka menjadi pelaku gig economy. Pemerintah perlu memperbaiki kultur kerja ASN, meningkatkan kesejahteraan dasar, dan memberikan peluang berkembang dari dalam sistem.
Program seperti "ASN BerAKHLAK" yang digaungkan KemenPAN-RB adalah langkah awal yang baik. Namun belum cukup. Perlu ada ruang nyata untuk inovasi, reward untuk kinerja kreatif, dan pemimpin birokrasi yang memahami psikologi generasi muda.
Karena itulah, keterlibatan ASN dalam gig economy seharusnya tidak langsung dicap negatif. Yang perlu ditekankan adalah transparansi, etika, dan batas waktu. Jangan sampai jam kerja dan tanggung jawab publik dikompromikan demi cuan pribadi.