Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Mentalitas Gig Economy di Kalangan ASN Muda

12 Juli 2025   20:37 Diperbarui: 12 Juli 2025   19:44 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ASN muda. (Sumber: bkpsdmd.babelprov.go.id/Freepik)

"Selesai input e-office, lanjut jadi content creator, Bang."

Kalimat itu diucapkan dengan nada santai oleh seorang ASN muda saat rehat makan siang. Bukan sekadar bercanda, itu mencerminkan wajah baru birokrasi hari ini---dimana pekerja pemerintah generasi muda menjalani peran ganda: pegawai negeri dan bagian dari gig economy.

Fenomena ini tumbuh diam-diam namun merata. Banyak ASN muda kini tak hanya bergelut dengan tugas administratif, tapi juga aktif sebagai fotografer, penulis lepas, reseller online, bahkan menjadi influencer. Bukan karena tidak serius sebagai ASN, tetapi karena ruang ekonomi dan ekspresi yang disediakan dunia digital begitu terbuka dan menggoda.

Di sinilah dilema muncul: apakah keterlibatan ASN muda dalam gig economy menjadi bentuk inovasi zaman atau justru bentuk pelarian dari kejenuhan birokrasi yang kaku? Apakah ini peluang untuk memperkuat kapasitas personal, atau justru ancaman bagi netralitas dan dedikasi ASN?

Istilah gig economy merujuk pada sistem ekonomi berbasis proyek jangka pendek atau pekerjaan lepas yang biasanya fleksibel, berbasis platform digital, dan tidak terikat waktu tetap. Model ini berkembang pesat seiring tren ekonomi digital, terutama pasca-pandemi COVID-19.

Di Indonesia, menurut Bank Dunia (2023), sektor gig diprediksi akan mencakup lebih dari 10 juta pekerja informal digital dalam beberapa tahun ke depan. Sektor ini tumbuh karena daya tarik fleksibilitas dan imbalan finansial yang, kadang, lebih besar dari gaji tetap.

Dalam konteks ASN, keterlibatan dalam pekerjaan luar seperti ini menimbulkan pro dan kontra. Secara personal, tentu ada banyak manfaat. ASN muda bisa mengembangkan kreativitas, mendapatkan tambahan penghasilan, hingga memperluas jaringan sosial dan profesional.

Namun dari sisi profesionalisme, muncul kekhawatiran: apakah ASN masih dapat menjalankan tugasnya secara penuh dan berintegritas jika waktu dan perhatiannya terpecah ke banyak arah? Apalagi jika pekerjaan sampingan itu tidak dilaporkan atau berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.

Perlu dicatat, ASN bukan sekadar pekerja. Ia adalah wajah negara di hadapan rakyat. Dalam UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara, disebutkan bahwa ASN harus netral, profesional, dan fokus pada pelayanan publik.

Pasal 9 ayat (2) huruf c UU ASN menegaskan bahwa "ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik." Tapi bagaimana jika ASN menjadi influencer dengan konten politis? Atau menjadi buzzer lepas dengan orientasi bayaran?

Ini bukan kekhawatiran kosong. Di media sosial, kita sudah menemukan beberapa ASN yang menjadi content creator yang aktif menyuarakan dukungan terhadap kelompok tertentu, atau mempromosikan produk dengan gaya promosi agresif. Apakah ini tidak mencoreng etika ASN?

Apalagi banyak ASN muda yang mengeluhkan rendahnya kesejahteraan, lambatnya jenjang karier, dan rutinitas kerja yang kaku. Gig economy menjadi pelarian yang menyegarkan. Tapi apakah solusi ini jangka panjang atau sekadar bentuk kompromi personal?

Dalam studi LIPI (2019), ditemukan bahwa lebih dari 60% ASN merasa tidak puas dengan jenjang karier dan kejelasan prestasi kerja. Hal ini memperkuat dugaan bahwa motivasi utama banyak ASN terjun ke gig economy adalah karena stagnasi dalam sistem birokrasi.

Namun tentu tidak adil jika kita langsung menyalahkan ASN yang punya kegiatan sampingan. Banyak dari mereka justru menjadi lebih produktif dan terbuka secara mental karena kegiatan luar tersebut. Ini membuktikan bahwa ASN bukanlah manusia satu dimensi.

Yang menjadi masalah adalah jika kegiatan itu mulai menyita waktu kerja, mengganggu pelayanan, atau memperlemah loyalitas terhadap tugas negara. Di titik ini, perlu ada pedoman yang jelas dan tegas, bukan larangan total yang kaku.

Sayangnya, peraturan tentang ini masih kabur. Tidak ada aturan tegas dari Kementerian PANRB atau BKN yang mengatur keterlibatan ASN dalam kegiatan ekonomi digital. Ini menciptakan ruang abu-abu yang mudah disalahgunakan.

ASN seharusnya melaporkan setiap kegiatan di luar kedinasan yang berpotensi menghasilkan pendapatan. Namun, praktik ini jarang dilakukan. Bahkan, atasan pun sering menutup mata selama kinerja formal ASN itu terlihat baik.

Apakah ini pertanda bahwa kita butuh birokrasi yang lebih manusiawi? Yang memahami kebutuhan ekspresi, aktualisasi, dan kemandirian ekonomi ASN muda? Jawabannya: ya. Tapi pemahaman itu tetap harus diiringi dengan etika dan pengawasan.

Mengubah pendekatan terhadap ASN muda tidak cukup hanya dengan melarang mereka menjadi pelaku gig economy. Pemerintah perlu memperbaiki kultur kerja ASN, meningkatkan kesejahteraan dasar, dan memberikan peluang berkembang dari dalam sistem.

Program seperti "ASN BerAKHLAK" yang digaungkan KemenPAN-RB adalah langkah awal yang baik. Namun belum cukup. Perlu ada ruang nyata untuk inovasi, reward untuk kinerja kreatif, dan pemimpin birokrasi yang memahami psikologi generasi muda.

Karena itulah, keterlibatan ASN dalam gig economy seharusnya tidak langsung dicap negatif. Yang perlu ditekankan adalah transparansi, etika, dan batas waktu. Jangan sampai jam kerja dan tanggung jawab publik dikompromikan demi cuan pribadi.

Beberapa kementerian telah mulai membuat panduan internal terkait pekerjaan luar ASN. Bahkan, beberapa pemerintah daerah memberi ruang ASN untuk melakukan kegiatan sosial dan ekonomi selama tidak mengganggu tugas utama.

Langkah ini perlu diperluas secara nasional. Kementerian PANRB perlu menyusun peraturan menteri yang mengatur etika kegiatan tambahan ASN, termasuk dalam ekonomi digital. Aturan ini harus disusun berbasis risiko dan proporsional.

ASN bisa saja menjadi penulis lepas, konsultan, dosen tamu, atau pebisnis online. Tapi tetap harus melapor, menyebutkan waktu kegiatan, dan menjamin tidak mengganggu pelayanan publik. Jika perlu, dibuat sistem izin otomatis berbasis aplikasi.

Lebih jauh lagi, pemerintah juga bisa menyediakan program inkubasi ASN Digital---yaitu program pembinaan ASN yang ingin berwirausaha atau berkegiatan digital secara sehat dan etis. Ini cara positif memanfaatkan energi muda ASN.

Karena kalau tidak diarahkan, potensi besar ASN muda akan lari ke luar birokrasi. Mereka akan merasa tidak punya tempat di instansi sendiri, dan akhirnya membangun identitas personal yang menjauh dari identitas profesional.

Ini sangat berbahaya. ASN yang sudah tidak merasa "militan" terhadap profesinya akan menjadi pasif, bahkan bisa dimanfaatkan untuk agenda pribadi atau politik pihak luar. Ketika identitas ASN melemah, negara kehilangan agen perubahan.

Harus diingat, ASN bukan hanya mesin eksekusi kebijakan. Mereka adalah simbol kehadiran negara di tengah rakyat. Jika mereka sibuk jadi content creator sepanjang hari, siapa yang akan mengurus data bantuan, izin UMKM, atau pelayanan publik lainnya?

Gig economy bukan musuh ASN. Tapi ia juga bukan ruang bermain tanpa aturan. Dibutuhkan regulasi yang adil, kultur kerja yang sehat, dan ruang aspirasi yang manusiawi agar ASN muda tidak merasa harus "kabur" dari sistem demi aktualisasi diri.

Sistem birokrasi juga harus bersiap menyambut era digitalisasi kerja. Jika ASN tidak diberi ruang untuk berkembang di dalam, maka dunia luar akan terus menarik mereka. Dan pada akhirnya, negara sendiri yang rugi karena kehilangan energi muda terbaiknya.

Oleh karena itu, saatnya kita menyusun ulang peta jalan ASN muda di era digital. Bukan dengan mengekang, tapi dengan menguatkan profesionalisme, mengatur kegiatan luar dengan bijak, dan memperkuat semangat pengabdian melalui inovasi internal.

Jika tidak, kita hanya akan melihat ASN yang hadir fisik tapi kosong jiwa. Sibuk membuat konten TikTok saat antrean pelayanan panjang tak kunjung terlayani. Saat itulah, gig economy tidak lagi menjadi peluang, tapi bencana diam-diam yang mencabut esensi pelayanan publik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun