Pernahkah Anda bertemu dengan seseorang di kantor yang selalu punya kalimat manis untuk setiap situasi? Apa pun yang dikatakan atasan, jawabannya selalu penuh pujian.Â
Setiap kebijakan yang mungkin terasa berat bagi tim, diterimanya dengan senyum dan komentar positif seakan-akan tidak ada masalah sedikit pun. Awalnya mungkin kita mengira itu sikap ramah, sopan, atau bentuk komunikasi profesional.Â
Namun, lama-kelamaan, kita mulai merasa ada yang janggal. Semuanya terdengar terlalu manis, terlalu dipoles, sampai terasa menyesakkan.
Fenomena inilah yang sering disebut sugar coating. Istilah ini biasanya digunakan untuk menggambarkan cara berbicara yang terdengar manis, bahkan ketika kenyataan sebenarnya pahit.Â
Sama seperti obat pahit yang dilapisi gula agar lebih mudah ditelan, sugar coating dalam komunikasi di kantor bertujuan agar pesan diterima tanpa perlawanan. Namun, yang jadi masalah adalah ketika lapisan gula itu terlalu tebal hingga menutupi inti persoalan.Â
Alih-alih menyelesaikan masalah, sugar coating justru bisa menjadi jalan pintas yang menciptakan budaya toxic.
Sugar Coating sebagai Wajah Lain Komunikasi
Di permukaan, sugar coating mungkin terlihat tidak berbahaya. Bahkan sebagian orang menganggapnya sebagai bentuk ketrampilan komunikasi. "Lebih baik manis daripada kasar," begitu kira-kira alasannya.Â
Tidak salah memang, karena komunikasi yang efektif memang membutuhkan empati dan kemampuan menyampaikan pesan tanpa menyakiti. Namun, ketika setiap kalimat hanya dipenuhi basa-basi berlebihan, komunikasi kehilangan fungsinya yang paling penting: menyampaikan kebenaran.
Bayangkan dalam sebuah rapat, seorang karyawan mengusulkan ide yang jelas-jelas sulit untuk dijalankan. Semua orang dalam ruangan tahu ide itu bermasalah, tapi tidak ada yang berani mengatakan dengan jujur.Â
Yang terdengar justru komentar-komentar penuh pujian: "Wah, idenya luar biasa, Pak." "Keren sekali, saya setuju." "Brilian, tinggal kita jalankan saja." Akhirnya ide itu disetujui tanpa evaluasi matang. Ketika dieksekusi, barulah masalah muncul.
Budaya sugar coating membuat orang lebih mementingkan kesan dibandingkan substansi. Dalam jangka pendek, orang yang pandai membungkus kata-kata mungkin terlihat lebih dekat dengan atasan, lebih disukai, bahkan dianggap loyal.Â
Namun dalam jangka panjang, organisasi kehilangan ruang untuk diskusi kritis. Seperti yang ditulis psikolog sosial Robert Cialdini dalam bukunya Influence: The Psychology of Persuasion, pujian berlebihan dapat digunakan sebagai bentuk manipulasi halus untuk mendapatkan keuntungan tertentu.Â
Artinya, sugar coating bukan lagi sekadar basa-basi, tapi sudah masuk ranah strategi interpersonal untuk mengamankan posisi.
Dalam konteks budaya kerja, fenomena ini berbahaya karena mengikis keberanian untuk berbicara jujur. Di beberapa perusahaan, orang yang terus terang justru dianggap kurang sopan, tidak tahu diri, atau tidak pandai menjaga perasaan.Â
Sebaliknya, mereka yang lihai membungkus kata-kata dengan manis seringkali lebih cepat mendapat promosi atau akses ke lingkaran dalam. Di sinilah sugar coating berubah dari sekadar gaya bicara menjadi sebuah alat politik di kantor.
Dari Basa-Basi ke Budaya Toxic
Masalah besar muncul ketika sugar coating tidak lagi menjadi fenomena individu, tetapi menjelma menjadi budaya organisasi. Ketika terlalu banyak orang di kantor memilih bersikap manis demi aman, maka yang lahir adalah budaya diam.Â
Masalah dibiarkan, kritik ditunda, dan suara-suara jujur dipinggirkan. Pada akhirnya, kantor terasa damai di permukaan, padahal di dalamnya penuh frustrasi yang terpendam.
Dalam psikologi organisasi, kondisi ini mirip dengan apa yang disebut toxic positivity. Istilah tersebut digunakan untuk menggambarkan sikap selalu positif secara berlebihan, sampai-sampai menolak realitas yang negatif.Â
Kementerian Keuangan RI dalam salah satu artikel di laman resminya bahkan menyebut toxic positivity berbahaya karena bisa menutup ruang diskusi kritis yang sehat. Sugar coating bekerja dengan cara yang hampir sama.Â
Dengan dalih menjaga suasana, orang memilih menambahkan lapisan gula pada setiap kata, meski itu berarti mengabaikan kenyataan yang pahit.
Akibatnya, karyawan kehilangan kepercayaan diri untuk berbicara apa adanya. Mereka takut dicap "keras" atau "tidak kooperatif" jika mengungkapkan pendapat jujur. Lebih buruk lagi, sistem karier bisa jadi ikut tercemar.Â
Mereka yang piawai berbasa-basi seringkali lebih diperhatikan, meski kontribusi nyata mereka tidak sebanding. Lama-kelamaan, tim kerja berubah menjadi arena kompetisi manis kata-kata, bukan lagi kompetisi kualitas kerja.
Sebuah riset yang diterbitkan di Journal of Business Ethics (2019) menyebutkan bahwa praktik ingratiation atau menjilat atasan, termasuk lewat pujian berlebihan, memang bisa memberi keuntungan karier jangka pendek.Â
Namun, dampaknya bagi organisasi adalah menurunnya transparansi, meningkatnya ketidakadilan, dan menurunnya motivasi anggota tim lain. Dengan kata lain, sugar coating bisa menjadi pintu masuk bagi budaya toxic yang sulit diperbaiki.
Kita bisa bayangkan, jika budaya ini mengakar, perusahaan tidak akan lagi punya ruang aman untuk mengkritisi kebijakan. Semua tampak baik-baik saja, sampai akhirnya masalah besar datang tanpa ada yang siap menghadapi.Â
Seperti rumah yang retaknya ditutup cat berwarna cerah, indah di luar tapi rapuh di dalam.
Strategi atau Penjilat?
Pada titik ini muncul dilema etis: apakah sugar coating bisa dianggap strategi komunikasi, atau murni sikap penjilat? Sebagian orang berpendapat bahwa sedikit sugar coating diperlukan, karena manusia cenderung lebih mudah menerima pesan yang dikemas dengan kata-kata manis. "Bukan menjilat, hanya tahu cara berbicara," begitu kata mereka.
Namun, garis pemisah antara strategi komunikasi dan penjilatan sangat tipis. Jika sugar coating digunakan untuk memperhalus kritik agar tidak menyinggung, maka fungsinya masih positif. Tapi jika digunakan untuk menutupi kesalahan, mengamankan posisi, atau membuat atasan merasa selalu benar, maka ia sudah menjadi bentuk manipulasi yang merusak.
Pertanyaannya: apakah kita rela menjadikan sugar coating sebagai strategi utama untuk bertahan di dunia kerja? Apakah kita harus menukar integritas dengan kalimat manis demi karier?Â
Pertanyaan ini tidak mudah dijawab, karena realitas kantor seringkali memaksa orang untuk memilih jalan aman. Tidak sedikit karyawan yang akhirnya berpikir, "Kalau semua orang melakukannya, kenapa saya tidak?"
Namun di sinilah letak tantangan sekaligus peluang. Budaya kerja yang sehat seharusnya memberi ruang bagi komunikasi jujur tanpa rasa takut. Atasan yang bijak mestinya bisa membedakan antara kritik konstruktif dengan sikap kasar.Â
Jika organisasi terus membiarkan sugar coating berkembang, maka pada akhirnya bukan hanya karyawan yang rugi, melainkan juga perusahaan itu sendiri. Produktivitas, kreativitas, dan kepercayaan tim akan terkikis pelan-pelan.
Pada akhirnya, sugar coating adalah manis yang bisa berubah jadi racun. Ia bisa membantu sesaat, tapi perlahan melemahkan daya tahan tim. Sama seperti gula berlebihan yang bisa merusak tubuh, kata-kata manis berlebihan juga bisa merusak ekosistem kerja.
Penutup
Sugar coating adalah realitas yang sulit dihindari di dunia kerja. Di satu sisi, ia bisa membuat suasana lebih hangat dan aman. Di sisi lain, jika berlebihan, ia bisa berubah menjadi racun yang menumbuhkan budaya toxic.Â
Tantangan bagi kita adalah menemukan keseimbangan: berbicara dengan empati, tapi tetap berani menyampaikan kebenaran.
Kantor yang sehat bukanlah kantor yang penuh dengan kalimat manis, melainkan kantor yang berani menampung kritik dengan terbuka. Kita semua tentu ingin bekerja di lingkungan yang jujur, transparan, dan saling mendukung.Â
Namun, itu hanya bisa tercapai jika kita berani mengurangi lapisan gula yang berlebihan dalam komunikasi sehari-hari.
Pertanyaannya sekarang, bagaimana dengan Anda? Jika menghadapi rekan kerja yang gemar sugar coating, apakah Anda akan membiarkannya, menegurnya, atau ikut terbawa arus?Â
Jawabannya bisa berbeda bagi tiap orang, tapi yang pasti, budaya kerja yang sehat tidak akan tumbuh dari kata-kata manis yang kosong. Ia tumbuh dari keberanian untuk berkata jujur, meski terkadang terasa pahit.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI