Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Sugar Coating dan Budaya Toxic di Lingkungan Kerja

3 Oktober 2025   06:01 Diperbarui: 3 Oktober 2025   06:01 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kerja bersama (Pexels.com/Thirdman)

Mereka yang piawai berbasa-basi seringkali lebih diperhatikan, meski kontribusi nyata mereka tidak sebanding. Lama-kelamaan, tim kerja berubah menjadi arena kompetisi manis kata-kata, bukan lagi kompetisi kualitas kerja.

Sebuah riset yang diterbitkan di Journal of Business Ethics (2019) menyebutkan bahwa praktik ingratiation atau menjilat atasan, termasuk lewat pujian berlebihan, memang bisa memberi keuntungan karier jangka pendek. 

Namun, dampaknya bagi organisasi adalah menurunnya transparansi, meningkatnya ketidakadilan, dan menurunnya motivasi anggota tim lain. Dengan kata lain, sugar coating bisa menjadi pintu masuk bagi budaya toxic yang sulit diperbaiki.

Kita bisa bayangkan, jika budaya ini mengakar, perusahaan tidak akan lagi punya ruang aman untuk mengkritisi kebijakan. Semua tampak baik-baik saja, sampai akhirnya masalah besar datang tanpa ada yang siap menghadapi. 

Seperti rumah yang retaknya ditutup cat berwarna cerah, indah di luar tapi rapuh di dalam.

Strategi atau Penjilat?

Pada titik ini muncul dilema etis: apakah sugar coating bisa dianggap strategi komunikasi, atau murni sikap penjilat? Sebagian orang berpendapat bahwa sedikit sugar coating diperlukan, karena manusia cenderung lebih mudah menerima pesan yang dikemas dengan kata-kata manis. "Bukan menjilat, hanya tahu cara berbicara," begitu kata mereka.

Namun, garis pemisah antara strategi komunikasi dan penjilatan sangat tipis. Jika sugar coating digunakan untuk memperhalus kritik agar tidak menyinggung, maka fungsinya masih positif. Tapi jika digunakan untuk menutupi kesalahan, mengamankan posisi, atau membuat atasan merasa selalu benar, maka ia sudah menjadi bentuk manipulasi yang merusak.

Pertanyaannya: apakah kita rela menjadikan sugar coating sebagai strategi utama untuk bertahan di dunia kerja? Apakah kita harus menukar integritas dengan kalimat manis demi karier? 

Pertanyaan ini tidak mudah dijawab, karena realitas kantor seringkali memaksa orang untuk memilih jalan aman. Tidak sedikit karyawan yang akhirnya berpikir, "Kalau semua orang melakukannya, kenapa saya tidak?"

Namun di sinilah letak tantangan sekaligus peluang. Budaya kerja yang sehat seharusnya memberi ruang bagi komunikasi jujur tanpa rasa takut. Atasan yang bijak mestinya bisa membedakan antara kritik konstruktif dengan sikap kasar. 

Jika organisasi terus membiarkan sugar coating berkembang, maka pada akhirnya bukan hanya karyawan yang rugi, melainkan juga perusahaan itu sendiri. Produktivitas, kreativitas, dan kepercayaan tim akan terkikis pelan-pelan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun