Budaya sugar coating membuat orang lebih mementingkan kesan dibandingkan substansi. Dalam jangka pendek, orang yang pandai membungkus kata-kata mungkin terlihat lebih dekat dengan atasan, lebih disukai, bahkan dianggap loyal.Â
Namun dalam jangka panjang, organisasi kehilangan ruang untuk diskusi kritis. Seperti yang ditulis psikolog sosial Robert Cialdini dalam bukunya Influence: The Psychology of Persuasion, pujian berlebihan dapat digunakan sebagai bentuk manipulasi halus untuk mendapatkan keuntungan tertentu.Â
Artinya, sugar coating bukan lagi sekadar basa-basi, tapi sudah masuk ranah strategi interpersonal untuk mengamankan posisi.
Dalam konteks budaya kerja, fenomena ini berbahaya karena mengikis keberanian untuk berbicara jujur. Di beberapa perusahaan, orang yang terus terang justru dianggap kurang sopan, tidak tahu diri, atau tidak pandai menjaga perasaan.Â
Sebaliknya, mereka yang lihai membungkus kata-kata dengan manis seringkali lebih cepat mendapat promosi atau akses ke lingkaran dalam. Di sinilah sugar coating berubah dari sekadar gaya bicara menjadi sebuah alat politik di kantor.
Dari Basa-Basi ke Budaya Toxic
Masalah besar muncul ketika sugar coating tidak lagi menjadi fenomena individu, tetapi menjelma menjadi budaya organisasi. Ketika terlalu banyak orang di kantor memilih bersikap manis demi aman, maka yang lahir adalah budaya diam.Â
Masalah dibiarkan, kritik ditunda, dan suara-suara jujur dipinggirkan. Pada akhirnya, kantor terasa damai di permukaan, padahal di dalamnya penuh frustrasi yang terpendam.
Dalam psikologi organisasi, kondisi ini mirip dengan apa yang disebut toxic positivity. Istilah tersebut digunakan untuk menggambarkan sikap selalu positif secara berlebihan, sampai-sampai menolak realitas yang negatif.Â
Kementerian Keuangan RI dalam salah satu artikel di laman resminya bahkan menyebut toxic positivity berbahaya karena bisa menutup ruang diskusi kritis yang sehat. Sugar coating bekerja dengan cara yang hampir sama.Â
Dengan dalih menjaga suasana, orang memilih menambahkan lapisan gula pada setiap kata, meski itu berarti mengabaikan kenyataan yang pahit.
Akibatnya, karyawan kehilangan kepercayaan diri untuk berbicara apa adanya. Mereka takut dicap "keras" atau "tidak kooperatif" jika mengungkapkan pendapat jujur. Lebih buruk lagi, sistem karier bisa jadi ikut tercemar.Â