Setiap kali Hari Tani Nasional diperingati, wajah jalanan berubah menjadi panggung jeritan petani. Mereka datang dengan spanduk lusuh, suara serak, dan harapan yang kadang terasa nyaris padam.Â
Teriakan mereka sederhana: hentikan perampasan tanah. Namun di balik kalimat singkat itu, tersimpan pertanyaan yang jauh lebih dalam, pertanyaan yang menyentuh hidup kita semua: siapa yang akan menguasai pangan di masa depan?
Indonesia sering disebut negeri agraris, tanah yang subur, dan masyarakat yang hidup dari sawah dan ladang. Tapi ironinya, justru di tanah yang diberkahi ini, para petani harus berulang kali turun ke jalan untuk sekadar mempertahankan hak atas tanah. Di negeri yang katanya lumbung pangan, petani justru hidup dalam ancaman kehilangan lahan.
Ketika tanah petani dirampas atau dialihfungsikan, bukan hanya sepetak sawah yang hilang. Kita sedang menyaksikan hilangnya sumber pangan, hilangnya kedaulatan, dan hilangnya masa depan yang seharusnya menjadi milik rakyat.Â
Dari sinilah pertanyaan itu lahir, menohok siapa saja yang mau merenung: apakah masa depan pangan kita akan tetap di tangan rakyat, atau sudah tergadai pada segelintir pemilik modal?
Tanah, Petani, dan Pangan: Ikatan yang Tak Terpisahkan
Bagi petani, tanah adalah segalanya. Tanah bukan hanya tempat menanam padi atau jagung, melainkan identitas dan harga diri. Sebidang sawah bisa menjadi jaminan anak-anak tetap sekolah, dapur tetap berasap, dan komunitas desa tetap hidup. Tanpa tanah, seorang petani kehilangan akar, kehilangan pijakan, kehilangan makna sebagai petani.
Sayangnya, realitas hari ini jauh dari ideal. Sebagian besar petani kita justru hidup di atas lahan sempit. Menurut Sensus Pertanian 2023, lebih dari 21 juta usaha pertanian perorangan di Indonesia menggarap lahan di bawah 1 hektar.Â
Angka ini mengerikan bila dibayangkan: bagaimana mungkin sepetak kecil itu bisa menopang keluarga, apalagi memberi kontribusi pada ketahanan pangan nasional?
Ketika lahan yang begitu sempit masih harus berhadapan dengan ancaman alih fungsi, tekanan pembangunan, hingga klaim perusahaan besar, posisi petani makin terhimpit. Mereka ibarat pemilik rumah kecil yang setiap hari diintai tetangga kaya yang ingin membeli atau merampas tanahnya. Jika kehilangan, mereka bukan hanya pindah rumah, melainkan kehilangan seluruh mata pencaharian.
Pangan yang kita nikmati di meja makan hari ini lahir dari keringat petani di lahan-lahan kecil itu. Nasi di piring, sayur di mangkuk, bahkan cabai yang pedas di lidah---semuanya bermula dari tanah.Â
Begitu tanah hilang, rantai produksi itu ikut patah. Dan ketika rantai patah, harga-harga melambung, pasokan menipis, bahkan ketergantungan impor meningkat.
Inilah yang membuat hubungan tanah-petani-pangan tak bisa dipisahkan. Tanah adalah modal, petani adalah pelaku, dan pangan adalah hasilnya. Jika satu komponen runtuh, semuanya runtuh.
Perampasan Tanah = Ancaman Pangan
Perampasan tanah tidak sekadar kisah di pinggir berita. Ia adalah kenyataan sehari-hari yang menghantui desa-desa. Di banyak daerah, petani terpaksa menyerahkan lahannya karena kalah dalam kekuatan hukum, kalah dalam modal, atau kalah dalam tekanan aparat. Tanah yang tadinya penuh padi, mendadak berubah jadi perkebunan sawit, tambang, atau proyek infrastruktur.
Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dalam 100 hari pertama pemerintahan baru, sudah terjadi 63 konflik agraria yang melibatkan lebih dari 66 ribu hektar lahan (sumber: di sini).Â
Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan cerita ribuan keluarga yang tanahnya terancam. Di balik setiap hektar, ada peluh, ada kisah, ada harapan yang dirampas.
Akibatnya jelas: pangan terguncang. Petani kecil yang dulu menanam untuk kebutuhan lokal digantikan oleh perusahaan yang menanam komoditas ekspor. Diversifikasi tanaman lokal hilang.Â
Jagung lokal, umbi-umbian, sayuran tradisional, perlahan tergantikan monokultur yang orientasinya bukan untuk memberi makan rakyat, tapi untuk memberi keuntungan pasar global.
Di meja makan kita, gejalanya sudah terasa. Harga beras naik, harga cabai melonjak, harga bawang merah sulit stabil. Semua itu bukan hanya karena musim atau cuaca, melainkan karena sistem pangan kita makin terkonsentrasi. Semakin sedikit petani kecil yang bisa bertahan, semakin rapuh ketahanan pangan kita.
Yang lebih menakutkan adalah ketergantungan impor. Ketika tanah tak lagi cukup menghasilkan, negara mencari jalan pintas: impor. Padahal, impor berarti kita menggantungkan perut bangsa pada pasar global yang rentan gejolak.
Perampasan tanah, pada akhirnya, adalah ancaman nyata terhadap dapur setiap keluarga Indonesia. Ia bukan hanya masalah petani, tapi masalah kita semua.
Siapa yang Sebenarnya Menguasai Pangan?
Pertanyaan inilah yang sering dihindari: siapa sebenarnya yang menguasai pangan kita? Apakah petani kecil yang bekerja dari pagi hingga senja di sawah, ataukah korporasi yang punya jaringan modal hingga distribusi?
Negara, dengan segala regulasi dan kebijakannya, sering berdiri di persimpangan. Di satu sisi, ada janji untuk melindungi petani. Di sisi lain, ada godaan investasi besar yang menjanjikan pertumbuhan ekonomi cepat. Tak jarang, pilihan negara jatuh pada investor, bukan pada petani.
Korporasi besar pangan punya modal dan teknologi untuk menguasai rantai dari hulu hingga hilir. Mereka menguasai lahan luas, mengolah produk, mendistribusikan ke pasar modern, hingga mengatur harga. Petani kecil? Mereka hanya bagian kecil dari rantai, pemasok bahan baku yang tak punya kuasa menentukan harga.
Yang membuat keadaan semakin rumit adalah krisis regenerasi petani. Data BPS menunjukkan, hanya sekitar 22 persen petani di Indonesia yang berasal dari generasi muda. Artinya, sebagian besar petani adalah generasi tua yang sebentar lagi akan pensiun dari ladang. Lalu siapa yang akan menggantikan mereka jika tanah makin sempit dan profesi ini makin tidak menarik?
Maka tak heran, kontrol atas pangan semakin bergeser ke tangan korporasi. Mereka yang punya tanah luas, modal besar, dan akses pasar lah yang menentukan jenis pangan apa yang diproduksi, berapa banyak, dan untuk siapa.
Di sinilah masalah besar itu lahir. Jika masa depan pangan dikuasai korporasi, logika yang berlaku bukan lagi logika kebutuhan rakyat, melainkan logika laba.
Masa Depan yang Kita Pilih
Namun, masa depan pangan bukanlah takdir yang tak bisa diubah. Kita masih punya pilihan, apakah membiarkan tanah dan pangan dikuasai segelintir pemilik modal, atau merebut kembali kendali ke tangan rakyat.
Negara bisa memilih untuk berpihak. Kebijakan redistribusi tanah, perlindungan hukum terhadap petani kecil, hingga penguatan lahan pertanian berkelanjutan adalah langkah yang seharusnya segera diambil. Tanpa itu, kita hanya mengulang pola lama: petani terpinggirkan, korporasi berkuasa.
Selain negara, masyarakat juga punya peran. Konsumen di kota bisa ikut melawan dominasi pasar besar dengan membeli langsung dari petani, mendukung pasar tani, atau bergabung dalam gerakan pangan lokal. Tindakan sederhana seperti memilih beras organik lokal daripada beras impor bisa memberi sinyal kuat pada pasar.
Generasi muda desa perlu diberi ruang untuk kembali ke pertanian. Pertanian harus dipandang bukan sekadar pekerjaan kuno, tetapi peluang modern yang bisa dipadukan dengan teknologi.Â
Bayangkan jika anak-anak muda mengelola sawah dengan aplikasi pintar, sensor tanah, atau sistem distribusi digital. Pertanian bisa menjadi masa depan yang keren, bukan sekadar nostalgia.
Masa depan pangan adalah pilihan politik, pilihan sosial, dan pilihan pribadi kita semua. Apakah kita rela menyerahkan masa depan perut bangsa pada pasar global, atau kita memilih mempertahankannya sebagai hak rakyat?
Penutup
Ketika kita bertanya "Siapa Pemilik Masa Depan Pangan?", jawabannya seharusnya sederhana: petani, rakyat, dan bangsa ini sendiri. Tetapi realitas di lapangan justru menunjukkan sebaliknya. Selama tanah terus dirampas, selama kebijakan berpihak pada modal besar, dan selama suara petani diabaikan, maka masa depan pangan kita sudah tergadai.
Pangan bukan sekadar barang dagangan, melainkan hak hidup. Jika hari ini kita masih bisa makan dengan tenang, jangan anggap itu akan selalu begitu. Tanpa tanah, tanpa petani, dapur kita bisa saja hampa di masa depan.
Mari kita jaga, kita dukung, dan kita bela. Karena masa depan pangan bukan milik segelintir orang, melainkan milik kita semua.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI