Negara, dengan segala regulasi dan kebijakannya, sering berdiri di persimpangan. Di satu sisi, ada janji untuk melindungi petani. Di sisi lain, ada godaan investasi besar yang menjanjikan pertumbuhan ekonomi cepat. Tak jarang, pilihan negara jatuh pada investor, bukan pada petani.
Korporasi besar pangan punya modal dan teknologi untuk menguasai rantai dari hulu hingga hilir. Mereka menguasai lahan luas, mengolah produk, mendistribusikan ke pasar modern, hingga mengatur harga. Petani kecil? Mereka hanya bagian kecil dari rantai, pemasok bahan baku yang tak punya kuasa menentukan harga.
Yang membuat keadaan semakin rumit adalah krisis regenerasi petani. Data BPS menunjukkan, hanya sekitar 22 persen petani di Indonesia yang berasal dari generasi muda. Artinya, sebagian besar petani adalah generasi tua yang sebentar lagi akan pensiun dari ladang. Lalu siapa yang akan menggantikan mereka jika tanah makin sempit dan profesi ini makin tidak menarik?
Maka tak heran, kontrol atas pangan semakin bergeser ke tangan korporasi. Mereka yang punya tanah luas, modal besar, dan akses pasar lah yang menentukan jenis pangan apa yang diproduksi, berapa banyak, dan untuk siapa.
Di sinilah masalah besar itu lahir. Jika masa depan pangan dikuasai korporasi, logika yang berlaku bukan lagi logika kebutuhan rakyat, melainkan logika laba.
Masa Depan yang Kita Pilih
Namun, masa depan pangan bukanlah takdir yang tak bisa diubah. Kita masih punya pilihan, apakah membiarkan tanah dan pangan dikuasai segelintir pemilik modal, atau merebut kembali kendali ke tangan rakyat.
Negara bisa memilih untuk berpihak. Kebijakan redistribusi tanah, perlindungan hukum terhadap petani kecil, hingga penguatan lahan pertanian berkelanjutan adalah langkah yang seharusnya segera diambil. Tanpa itu, kita hanya mengulang pola lama: petani terpinggirkan, korporasi berkuasa.
Selain negara, masyarakat juga punya peran. Konsumen di kota bisa ikut melawan dominasi pasar besar dengan membeli langsung dari petani, mendukung pasar tani, atau bergabung dalam gerakan pangan lokal. Tindakan sederhana seperti memilih beras organik lokal daripada beras impor bisa memberi sinyal kuat pada pasar.
Generasi muda desa perlu diberi ruang untuk kembali ke pertanian. Pertanian harus dipandang bukan sekadar pekerjaan kuno, tetapi peluang modern yang bisa dipadukan dengan teknologi.Â
Bayangkan jika anak-anak muda mengelola sawah dengan aplikasi pintar, sensor tanah, atau sistem distribusi digital. Pertanian bisa menjadi masa depan yang keren, bukan sekadar nostalgia.
Masa depan pangan adalah pilihan politik, pilihan sosial, dan pilihan pribadi kita semua. Apakah kita rela menyerahkan masa depan perut bangsa pada pasar global, atau kita memilih mempertahankannya sebagai hak rakyat?